♪ : BAB 3

3.1K 379 35
                                    

“Ternyata ada baiknya kalau perasaan kita, cuma kita yang paham. Enggak melulu memberatkan orang, enggak melulu harus didengarkan. Sebab ada kala dimana cukup kita dan semesta saja yang terlibat dialog, manusia lain tidak perlu ikut serta.”

[Aluna, yang lagi searching tempat tinggal di galaksi lain.]

♪ ♪ ♪

Satu setengah tahun yang lalu, kala semua hal perlahan mulai berjalan berat.

Rutukan kasar terdengar dari kamar dengan lampu terang yang masih setia untuk menyala. Judith yang duduk di depan meja belajarnya kentara sekali tengah menahan kantuk. Jemarinya melemparkan pena ke atas lembaran kertas yang penuh akan panjangnya turunan rumus fisika. Desahan lelah Judith terdengar, hasrat untuk membaringkan tubuh di tempat tidur sudah mengetuk-ngetuk. Bagaimana tidak, Judith masuk dari pukul 6.45 pagi dan sekolah baru berakhir di pukul 4.00 sore. Lalu dia akan langsung pergi ke tempat bimbingan belajar yang berada tidak jauh dari Cakrawala---dimana pada umumnya anak-anak Cakrawala memang mengikuti les tambahan di sana. Dari pukul 05.00 sore, kelas baru akan berakhir di pukul 08.00 malam dan Judith baru akan tiba pukul 8.30 di rumah apabila tidak macet.

Keseharian Judith monoton semenjak dirinya menyandang status agit. Judith seharusnya memanfaatkan indahnya masa SMA, namun dirinya tidak menemukan banyak hal menyenangkan. Saat itu, memang kehadiran teman-teman yang membuat Judith kuat menghadapi segala tetek bengek urusan sekolah menengah atas.

Judith menyalakan ponsel, berharap sekali akan ada pesan yang masuk di ponselnya. Namun harapan hanya tinggal harapan, Judith kembali mematikan ponsel dan menaruh benda pipih itu sedikit lebih jauh darinya. Percuma, Rion juga belum membalas pesannya sejak dua hari lalu.

Di tengah tekanan yang Judith rasakan, ia pun tetap berusaha untuk menjadi seorang yang supportive. Ia tidak ingin mendesak Rion karena paham betul kalau dunia perkuliahan tentu saja lebih berat dari apa yang Judith rasakan sekarang. Ia mencoba menaruh pikiran positif di antara segala hal negatif yang terus saja mencoba muncul ke permukaan. Ia hanya berharap agar Rion baik-baik saja dan dapat segera membalas pesan-pesannya.

"Kangen kamu , Yon," ujar Judith memasang ekspresi mewek. Gadis itu menutup buku tebal bertuliskan judul F I S I K A di kovernya, kemudian mematikan lampu belajar dan lampu utama kamar. Diambilnya remote AC dan menurunkan lagi temperatur suhu agar kamarnya lebih sejuk.

Judith naik ke atas tempat tidur, menarik selimut, merebahkan diri sembari membiarkan kepalanya bersentuhan dengan empuknya bantal. Judith menghela napas sebentar, ia merasa sedikit lebih baik. Kursi belajar benar-benar membuat punggungnya pegal bukan main. Judith memposisikan diri ke arah kanan, dimana ia dapat melihat meja belajarnya dengan jelas. Judith berdoa, semoga ponsel yang ia letakkan di atasnya, dapat berdering panjang atau paling tidak memberikan dering pendek dengan pesan singkat yang melegakan.

Sudah berhari-hari berlalu, Judith sangat merindukan Rion yang menghilang tanpa kabar. Sedihnya, ini bukan kali pertama.

♪ s p a c e ♪

"Gimana semalem tidurnya?" Nadine bertanya tepat ketika Judith baru memasuki ruang makan.

"Pagi, Ibunda!" Gadis itu menunjukkan senyum ceria pada sang mama. Seakan hal berat yang ia pikirkan semalam sudah terbang dibawa malam. "Tidur Judith nyenyak banget malah! Nggak pakai mimpi."

Nadine tersenyum, lantas mendekati Judith dan mencium puncak kepala gadis itu. "Bener nyenyak?"

Judith mengangguk dengan raut pasti. Dia tidak ingin membuat sang mama khawatir dengan kondisinya yang naik turun belakangan. Judith sudah dua kali bolak-balik rumah sakit dalam satu bulan ini. Tidak hanya sekolah yang menjadi faktor, tetapi juga Rion, ditambah ia yang merindukan kedua saudaranya karena sudah lama sekali tidak pulang.

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang