♪ : BAB 45

1.1K 194 70
                                    

Malam sebelumnya, pukul delapan waktu setempat.

Senyum sumringah terukir di wajah Judith tatkala langkahnya mengisi ruang trotoar untuk pulang menuju gedung apartemen yang sudah berada di depan mata. Dinginnya udara malam yang menelusup ke dalam jaket hijaunya tergantikan dengan hangat sebab perasaan haru. Ada kebahagiaan tersendiri ketika dirinya memilih berbagai jenis cookies dan roti di toko tadi. Bahkan sang pegawai pria di toko itu mau repot-repot menjelaskan pada Judith makna di balik setiap cookies. Rasanya sulit digambarkan, ketika mampu membuat orang lain bahagia karena dirinya. Benar. Semua cookies itu akan dibawanya. Cookies istimewa, untuk anak-anak yang akan ditemuinya di rumah istimewa besok siang.

Judith masuk ke dalam gedung apartemen dan langsung menuju lift. Sembari berjalan, matanya sesekali mengintip ke dalam paper bag untuk memastikan cookies yang dibawanya utuh dan baik-baik saja. Cookies ini bak keajaiban, begitu kata pegawai pria di toko itu. Setiap yang bersedih dapat kembali menjadi baik berkat cookies. Setiap yang putus asa dapat kembali menemukan celah untuk kembali percaya pada harapan. Ketika dunia mulai mendung, maka cookies dan secangkir susu hangat adalah obat paling ampuh untuk bertahan di kala hujan turun deras menuju bumi. Judith tahu bahwa kata-kata itu hanya bualan belaka, tapi entah mengapa, dia tersihir dan percaya dengan begitu mudahnya. Di dalam lift yang sedang bergerak naik, Judith malah tertawa seperti orang bodoh. Dia benar-benar tidak sabar untuk memberikan semua cookies ini kepada anak-anak.

Setelah lift berdenting dan pintu besi itu terbuka, Judith segera berjalan keluar. Wajah yang tengah dihias dengan gurat bahagia itu nyatanya tidak bertahan lama. Bak petir di siang bolong, Judith mengehentikan kedua kakinya dan terpaku menatap sosok wanita yang sedang berdiri di depan pintu unit apartemennya. Baia, mau apa dia kemari?

Judith buru-buru sadar, tidak mau terintimidasi oleh Baia hanya karena perbedaan usia mereka yang terpaut beberapa tahun. Perempuan dengan paper bag berisi keajaiban dan kebahagiaan itu akhirnya kembali berjalan ke depan, dia menegakkan kepala tanpa sedikitpun debu ragu. Baia harus tahu bahwa Judith bukan bocah kemarin sore yang dapat dia permainkan seenak hati.

"Mau apa kesini?" suara Judith sudah sedingin udara kota.

"Apa kabar, Judith?" Baia tersenyum manis, seperti tidak melakukan apapun padahal jelas sudah segala kondisi sulit yang menghampiri Judith diawali dengan kemunculan wanita itu.

"Kabar?" tanya Judith dengan nada tidak percaya. "Mending enyah sebelum aku panggil pihak keamanan buat ngusir kamu."

Baia hanya tersenyum lagi menanggapi Judith yang dingin. Dia sudah pernah mengatakan kalau dirinya begitu mengagumi sosok Judith yang sangat percaya diri kala berhadapan dengannya. Tapi Baia tidak mau pertemuan mereka berakhir seperti kali terakhir di Venice Beach. Dia maju selangkah untuk mendekati perempuan di hadapannya, mencoba membuat ekspresi seramah mungkin walaupun tidak mempan untuk Judith.

Kalau Judith tidak menahan diri, dia mungkin sudah menyerang Baia tanpa ampun. Cerita Rion soal Baia dan adik anehnya Ayura sudah berhasil membuat Judith mual. Bagaimana mungkin dengan senyum secerah matahari Baia malah seberani ini untuk muncul di depannya, di depan pintu unitnya, seakan tidak ada hal buruk yang sudah dia lakukan di belakang Judith. Dilanjutkannya langkah, tetapi Baia menjadi semakin berani dengan memegang lengan Judith dan menahannya.

"Kamu yakin mau pergi gitu aja?"

"Lo nggak bisa dibilangin sekali, ya, Mbak Baia Yang Terhormat?" Judith sedikit lagi meledak. Dia sudah mengubah gaya bicaranya. Berawal dari saya-anda di Venice Beach, kemudian aku-kamu di beberapa menit sebelumnya, dan sekarang melemparkan sapaan lo-gue karena emosinya benar-benar di ujung kepala. "Gue nggak pernah cari masalah sama lo, bisa nggak sih tinggalin gue sendiri dan nggak usah belaga sok akrab? Jangan mancing gue apalagi pakai cara kotor kaya gini, gue nggak selemah yang lo pikir. Bisakan jangan hancurin mood yang lagi gue perbaiki supaya jadi bagus lagi? Lo udah masuk dan ngacak-ngacak terlalu jauh bahkan nggak pakai kata permisi. Gue pikir lo udah cukup dewasa buat paham etika sama adab? Yakan?"

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang