Pukul delapan malam lebih dua menit, angin bertiup di alun-alun kota, mengelus lembut kulit seorang perempuan yang sedang duduk tidak jauh dari dua pohon beringin kembar. Judith, dia menggenggam botol air mineral yang isinya tersisa sepertiga padahal baru dibeli lima menit lalu. Dahaganya hilang, namun seonggok rasa bersalah di dalam hatinya masih tertinggal. Judith membiarkan angin mempermainkan rambutnya, menyapu wajah, pun berharap membawa pergi rasa yang tengah dipikulnya. Matanya kembali melirik paper bag pemberian Rion, tersenyum kecil sembari mengeluarkan isinya. Sesaat, Judith terpaku tatkala ia mengembangkan kardigan lucu berwarna mint itu di atas paha.
Judith memutuskan untuk memakainya mengingat udara malam semakin dingin. Semoga hujan tidak turun dulu karena dia ingin menghabiskan waktu dengan nyaman bersama Racha. Ah ya, pria itu belum kunjung datang hingga saat ini. Judith sendiri juga tidak ingin repot-repot menelepon. Bukan karena dirinya tidak ingin, tapi peristiwa hari ini perlu dicatat sebagai peristiwa paling melelahkan bagi perempuan itu dan dia hanya ingin menenangkan hati dan pikiran sembari menunggu kedatangan Racha.
Mendadak Judith teringat seseorang. Dia mengeluarkan ponsel, menyalakan benda pintar itu dan menggulir bagian kontak ke alfabet D. Jantungnya berdetak kencang hanya dengan melihat nama sahabat terdekatnya. Judith menarik napas panjang sebelum menekan lambang telepon dan meletakkan ponsel ke telinga kiri dengan separuh yakin.
"Oi!" Judith tersenyum mendengar semangatnya sapaan itu. "Kenapa, Judal?"
Senyum Judith berubah jadi cebikan, "Lo tuh kurang kurangin nongkrong bareng Amar sama Cata."
"Lo makanya pulang biar gue nggak ditarik sana sini buat nongkrong nemenin mereka, mana kasian banget tiap gue suruh cari cewek malah gue yang diceramahin. Gue berasa emak-emak anak dua tau nggak lo, mana kelakuannya kayak setan semua."
Judith terbahak membayangkan posisi menyedihkannya kini diisi oleh Delvie. Tapi tujuan Judith menelepon sahabat perempuannya itu bukan untuk membahas Amar maupun Cata, ini perihal yang lebih penting.
"Delv." Nada suara Judith berubah rendah, namun sosok di seberang paham bahwa Judith sedang serius.
"Kenapa, Dith?" balas Delvie dengan nada tenang pula, menanggalkan emosinya terhadap Amar dan Cata.
"Lo dengerin gue cerita dulu, nggak boleh nyela, nggak boleh marah apalagi ngutuk."
"Kenapa, sih? Nggak usah bikin gue panik yang ada lo gue susul."
Tawa Judith berpadu ringisan. Dia masih memikirkan cara terbaik untuk memulai ceritanya. "Gue udah semingguan ini di Jogja, Delv." Hening tercipta setelahnya, cukup lama, cukup untuk membuat Judith pingsan dulu lalu bangkit lagi. "Delv?"
"Apa?"
"Kok nggak jawab?"
"LO BILANG DENGERIN DULU NGGAK BOLEH NYELA, GIMANA, SIH?!"
Judith sontak mengusap dada tatkala Delvie berteriak penuh geram padanya. "Iya, maaf, gue lanjutin, ya?"
"Yaudah iya buruan biar abis itu gue bisa marah-marah sama lo."
Lancar sesuai rencana. Semua yang tersimpan dalam hati dan kepalanya keluar seperti air dari teko menuju gelas, dan Delvie yang mendengar seluruh kisah tersebut berujung sama leganya. Mana Delvie sangka Judith nekat terbang menuju Yogyakarta untuk menyambangi seorang wanita yang jauh lebih tua dan memberikannya peringatan. Tidak hanya Baia, tetapi juga adiknya, Ayura. Mana Delvie kira Judith dan Rionㅡsepupu yang sudah lama tidak berkomunikasi dengannyaㅡternyata sempat berpacaran lagi untuk dua hari. Delvie yang berada jauh dari ujung telepon Judith terdengar menghela napas panjang, alih-alih marah, Delvie tersenyum untuk Judith dan keberanian perempuan itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Like Yesterday
Ficção GeralPART MASIH LENGKAP! "Mungkin, pada dasarnya kita hanya datang untuk kembali berkata hendak pergi. Kamu itu layaknya rasi bintangㅡtidak selamanya terang, tidak selamanya indah. Mungkin sekarang saatnya untuk berkata sudah." Judith Aluna, terkait Ori...