♪ : BAB 27

1.5K 229 111
                                    

l e m b a r
b e r b e d a

Perjalanan bersama sesal memang tidak pernah mengenakkan. Ada hasrat ingin memperbaiki tetapi sayang belum bertemu jalannya. Ada keinginan untuk melangkah maju dan membuka lembaran baru tetapi hati menolak keras. Perbaiki! Begitu pekik hati dengan kencang hampir setiap hari. Berharap sosok pria berkaus hitam yang tengah menyandarkan tubuhnya dengan perasaan terberai di tepian tempat tidur itu sadar akan salahnya. Jangan ditanyakan, apa dia sadar atau tidak, dia sepenuhnya paham dimana letak dan sebesar apa kesalahannya. Menyakiti hati seorang perempuan dan rasa tidak percayanya bahwa si gadis ternyata dapat melupakannya. Miris sekali. Dia yang berbuat salah dan berlaku jahat, tetapi dia pula yang gagal membina hatinya sendiri.

'Bego lo,' batinnya mengejek untuk kali ke-sejuta. Terlebih setelah sore tadi dia membaca pesan berupa jawaban dari sosok yang paling ditunggu-tunggu setelah bertahun berlalu. Hidupnya seakan luruh membaca untaian kalimat penolakan. Semesta miliknya yang ia coba untuk perbaiki, perlahan digerogoti lagi oleh perasaan bersalah. Sosok paling terkasih memberikan tamparan kesadaran bahwa ia sudah lama tidak berarti. 'Lo yang ninggalin dia, Dungu! Wajar kalau dia nolak. Semesta kalian udah lama terbelah dan berbeda. Lo gak bisa maksain semuanya untuk kembali jadi sama karena lo gak punya andil apa-apa. Sekalipun lo berlutut untuk dia, kalau hatinya udah nggak di tempat yang sama, usaha lo cuma akan berpelukan sama yang namanya sia-sia. Sampai sini pahamkan lo? Dasar manusia bego.'

Pria itu memukul dahinya dengan telapak tangan, berharap suara itu segera menghilang. Dia memutuskan bangkit dari lantai dingin kamar hotel dimana hanya ada dirinya sendiri. Semua temannya sedang bersenang-senang di luar malam ini. Sedang ia, bisa saja akan berakhir dengan kondisi mati berdiri sebab berperang dengan suara-suara di kepala.

Rion, dia membuka jendela yang juga merangkap sebagai pintu, melangkah keluar tepatnya pada balkon kamar hotel dimana ada dua buah kursi yang disediakan di sana bersama satu meja. Ketiga benda mati itu diam, sama sekali tidak memiliki niat untuk mengganggu sosok pria galau yang kini sedang menyentuh pagar pembatas. Dinginnya udara malam merisik masuk, menyentuh kulit tangan dan kakinya yang terbuka karena hanya menggunakan celana santai selutut. Rion menghela napas berat yang sarat akan rasa kecewa.

"Maaf, kita nggak bisa ketemu. Ada baiknya kalau kamu berhenti kirim pesan, Orion."

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang