♪ : BAB 48 [a]

1.1K 178 39
                                    

"Nggak kayak lo sama gue yang berhasil nemuin obat kita dari sebuah tempat tertentu, obat Judith itu ada di manusia lain. Waktu dia berhasil nemuin orangnya, dia bakal jatuh dalem banget ke mereka. Jadi, ya, mau dimanapun tempatnya dia nggak peduli juga, asalkan sama orang yang tepat, buat dia udah cukup. Makanya unit kita tetanggaan, karena dia nggak bisa sendirian. Dia butuh temen tapi dengan syarat harus bisa paham dia banget dan sebaliknya."

♪ s p a c e ♪

"Udah semua?" Judith diam, dia mengangguk pelan menjawab pertanyaan Rizzy sambil bangkit dari sofa tempatnya duduk. Jemari Judith saling bertaut, dia sejenak menunduk pada lantai ruangan selama beberapa detik. Tengah berpikir, tepatnya. Ponsel mahal yang tergeletak di atas meja diliriknya sesaat, benda pipih yang menjadi saksi akan pilu dan mendungnya hari-hari Judith belakangan ini. Dia bahkan sudah lupa bagaimana rasanya hidup dengan semangat, membuka mata ketika bangun tidur sambil tersenyum menatap jendelanya yang selalu menampilkan langit indah Toronto, kemudian sarapan dengan roti lapis andalannya sembari menunggu matahari terbit dengan perasaan bahagia.

Semakin lama, dengan tekanan tugas dan ujian, serta sosok prianya yang perlahan juga menghilang, Judith bak terjebak di atas kapal di laut lepas tanpa kompas. Dia tidak berlebihan, dia tidak sedang mengada-ngada perihal perasaannya. Judith masih tetap bernapas, namun setiap oksigen yang ia hirup seakan membawa beban-beban baru sehingga membuatnya kian sesak. Sementara karbondioksida yang ia lepas ibarat kebahagiaan dan kenangan-kenangan indah yang mau tidak mau harus dibuang. Judith sudah jatuh cinta pada Racha, dan dia tidak mau mengelak.

Permasalahan yang kini tengah menganggu isi kepalanya jelas mama. Bagaimana mungkin Judith dapat pulang dalam kondisi mood hancur lebur seperti ini. Bisa-bisa, sang mama tidak akan lagi percaya padanya dan malah membenci Racha seperti yang sudah terjadi pada Rion. Judith tidak mau hal semacam ini terjadi untuk kali kedua. Kalau ada orang yang berhak disalahkan, jelas Judith adalah subjeknya. Dia membenci egonya yang tinggi, bahkan untuk mengakui kesalahannya saja dia malu. Menghubungi prianya lebih dulu pun dia tidak berani. Segala isi kepalanya hanya diisi oleh takut sementara mulutnya terus saja meneguk obat tiap kali panik itu menyerang.

Judith tidak gila, namun dia tidak menyangkal kalau mengaku bahwa dirinya tidak baik-baik saja. Kurang tidur membuatnya kian merasakan detak jantung yang berdegub dengan kencang. Ketika malam semakin larut, alih-alih mendapatkan ruang nyaman untuk fokus dengan segala tugas dan materinya, dia malah semakin over thinking. Semalam, di hari terakhir ujiannya, dia memilih untuk mendatangi salah satu dokter dan meminta resep obat agar dapat terlelap. Hingga akhirnya semalam, Judith dapat tidur nyenyak bahkan tanpa mimpi satu apapun. Sayangnya, ketika bangun di pagi hari, Judith kembali khawatir karena ia tahu bahwa dirinya akan berada di Jakarta sebentar lagi.

Judith menggigit jari, dia mengambil ponselnya yang mati total dari atas meja dengan takut yang menyelimuti. Benda pipih itu sudah dimatikannya sejak lama karena takut mendapatkan pesan tidak baik dari Racha. Judith takut kalau Racha malah mendeklarasikan tuntasnya hubungan mereka lewat pesan singkat. Untuk menghindari segala kemungkinan buruk tersebut, Judith bahkan rela menggunakan ponsel lamanya yang sudah buruk sekali. LCD ponselnya saja sudah kena sebagian, home buttonnya sedikit sulit untuk ditekan, bagian tepinya sudah tampak hancur. Tidak layak disebut ponsel sebetulnya, tetapi setidaknya masih dapat digunakan untuk menghubungi keluarga dan beberapa teman. Ponsel itu yang menemaninya sejak SMA bahkan sampai setahun tinggal di Toronto. Seburuk apapun, bagi Judith ada banyak kenangan tentang ponsel itu yang tidak dapat dia lepas begitu saja. Perempuan itu bahkan tidak mau repot-repot mengadukan keadaan ponselnya, pertama karena memang tidak ingin mengganti, kedua sebab ia paham harga ponsel yang semakin gila-gilaan. Tapi ketika Judith pulang ke Indonesia karena saudara sulungnya menikah, akhirnya sang papa menangkap betapa buruk rupanya ponsel Judith dan ia dipaksa untuk menggantinya. Bahkan, Judith sempat mengatakan agar ponsel lamanya diperbaiki saja daripada harus membeli yang baru.

Just Like YesterdayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang