Lisa bosan. Beberapa hari ini hidupnya sangat diatur. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Hah, padahal dia baru saja hidup bebas dalam 5 tahun ini.
Gadis itu bangkit dari pembaringannya. Sepertinya jika dia menari untuk waktu yang sedikit tidak akan masalah. Lisa sudah terlalu rindu dengan gerakan-gerakan serta musik yang selalu dia hampiri setiap harinya dulu.
Lisa berjalan menuju ruang dancenya di mansion itu. Ada di lantai 4, berdekatan dengan ruang kerja ayahnya.
Tapi sesampainya disana, Lisa benar-benar dibuat tercengang. Pintu ruangan itu tertutup rapat dengan rantai melilit gagang pintu. Bahkan Lisa dapat melihat di dalam ruangan itu sangatlah gelap.
"Kau ingin apa?" Jisoo yang baru saja keluar dari ruang kerja sang ayah memergoki Lisa yang tengah mengintip ke dalam ruang dance.
Setelah berbicara dengan ayahnya, Jisoo tertidur di ruangan itu bersama Yonha. Dan pagi ini Jisoo bangun terlebih dahulu untuk menghadiri rapat di perusahaannya.
"Sejak kapan ruang danceku di rantai seperti ini?" ada nada tak suka terselip di kalimat Lisa.
"Mungkin ruangan itu akan dimusnahkan oleh Appa,"
Suara Jisoo terlalu santai, tapi sangat menusuk untuk Lisa dengar. Dia tertawa miris, dengan mata yang berkaca-kaca.
"Apakah harus sejauh ini?"
Jisoo memgalihkan pandangannya. Tidak tega melihat wajah Lisa saat ini.
"Unnie harus ke kantor."Sepeninggalan Jisoo, Lisa terduduk lemas sambil bersandar pada pintu ruangan dancenya. Menangis meratapi nasibnya yang tidak baik itu. Dan tanpa dia ketahui, Yonha mendengar semuanya. Bahkan ikut menangis di balik pintu ruang kerjanya.
.....
Tabung itu berukuran kecil saat digenggamannya. Tapi isinya cukup banyak. Dan efeknya akan benar-benar luar biasa untuk tubuhnya. Ah, tidak. Lebih tepatnya untuk jantungnya.
Tangannya memutar, mengocok, membolak-balikkan tabung itu. Sedang matanya menelisik apa keistimewaan pil-pil berwarna putih itu.
"Ah molla!" Lisa melempar tabung itu tak tentu arah, lalu bangkit dari tidurnya dan meraih tas ransel, karena dirinya harus segera pergi ke kampus.
Dengan diantar sopir suruhan ayahnya, Lisa sampai di kampus dengan aman. Hari ini dia tidak bersama Chaeyoung karena saudara kembarnya itu pergi sedari pagi.
"Lalice-ssi," Lisa menghentikan langkahnya dan menunggu Jungkook yang kini tengah menghampirinya dengan sedikit berlari.
"Bisa bicara sebentar?" tanya Jungkook setelah ada di hadapan Lisa.
"Tentu saja."
Jungkook tersenyum, lalu menyodorkan sekotak cokelat kepada Lisa. Membuat gadis itu heran.
"Kali ini apa? Bukan ucapan terima kasih kan? Karena aku tidak melakukan apa-apa untukmu.""Nan Joahaeyo."
Mulut Lisa mengaga. Terlalu terkejut dengan apa yang diucapkan Jungkook. Wah, untung saja jantung Lisa baik-baik saja dengan keterkejutan itu.
"Jika kau berpikir ini terlalu cepat untukku, kau salah. Aku sudah memperhatikanmu sedari dulu. Juga, aku sering mencari tahu tentang dirimu dari Rose," ucap Jungkook panjang kebar. Pantas saja setiap kali Rose ingin berlatih bersama Jungkook, dia meminta Lisa untuk menemani. Mungkin Jungkook yang memintanya.
"Engg... Bagaimana ya," Lisa menggaruk tengkuknya. Bingung harus merespon dengan apa. Karena jujur dia sama sekali tak punya perasaan apapun pada Jungkook. Oh ayolah, mereka baru saja kenal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
FanfictionSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...