Jarum jam terus bergerak, bumi terus berputar, dan kehidupan manusia terus berjalan dengan landasan takdir yang sudah Tuhan gariskan. Tak ada yang bisa mengelak, sekalipun dia dengan keras menolak.
Jennie terus mengusap dahi adik bungsunya yang terlihat sangat lelap. Lebih tepatnya belum sadarkan diri sejak kemarin. Tapi untungnya, Jennie tidak sempat melihat selang yang masuk ke dalam mulut adiknya. Karena pagi tadi selang intubasi itu sudah di lepas saat adiknya dipindahkan ke ruang rawat dan sudah bisa di jenguk, kini digantikan dengan masker oksigen yang menutupi sebagian wajahnya.
Siang ini hanya Jennie yang menemani Lisa. Ayah dan ibunya sudah satu jam berada di ruangan Dokter Choi untuk berdiskusi megenai bagaimana Lisa kedepannya, Jisoo diharuskan ke kantor karena client dari luar negeri datang hari ini, sedangkan Chaeyoung dipaksa untuk pulang karena gadis itu mendadak demam.
"Uhuk!"
Jennie terkesiap ketika Lisa tiba-tiba terbatuk, dan perlahan mata bulat itu terbuka walau gemetar. Setidaknya membuat hati Jennie sedikit tenang.
"Lili-ya, ini Unnie." Jennie meneteskan air matanya karena tak sanggup melihat Lisa meringis kesakitan.
"Eodi appo, eoh?" tanya Jennie bergetar. Lalu melihat tangan adiknya yang dibalut infus meremas bagian dada kiri atasnya.
"Ssstt, jangan seperti ini. Nanti akan bertambah sakit." Jennie menahan tangan Lisa, lalu meletakannya di atas perut dan dia mengusap lembut bagian dada kiri atas yang sempat Lisa remas tadi. Tak lupa dia memanggil Dokter dengan menekan tombil di dekat ranjang Lisa dengan tangan kirinya.
"Un-nie," Lisa memejamkan mata. Merutuki suaranya yang sangat sulit keluar.
"Unnie minta maaf, eoh? Unnie sangat ceroboh dan membuat Lisa sakit. Unnie tidak akan melakukannya lagi. Unnie janji tidak akan membuat Lisa terluka lagi," Jennie menangis disana, dengan mencium tangan Lisa. Membiarkan tangan adiknya itu basah karena ulahnya.
Dan Lisa hanya bisa diam. Kembali mengingat pertikaiannya dengan para saudaranya. Padahal Lisa tidak mengingat itu sebelumnya.
.....
Hanna terduduk lemas di salah satu bangku koridor. Mengusap wajahnya yang benar-benar lusuh karena terlalu banyak menangis dan belum tersentuh air bersih setetes pun.
Tiba-tiba wanita empat orang anak itu menangis. Semakin keras hingga rasanya seperti tercekik. Tercekik oleh kesakit hatiannya yang begitu mendalam.
"Hanna-ya," panggil Yonha lirih, dengan membawah dua gelas teh hangat dari kantin rumah sakit.
"Rasanya sangat sakit. Aku harus bagaimana?" Hanna memukul dadanya yang benar-benar terasa sesak. Membuat Yonha tidak tega dan meletakkan tehnya lalu memeluk Hanna lembut.
"Kita harus bagaimana? Demi Tuhan aku tidak mau kehilangan dia." Hanna meraung, meremas lengan suaminya yang terbalut kemeja biru.
"Jawab Yonha-ya! Kenapa kau diam saja?!" Yonha tetap memilih diam, dengan air mata yang kini mulai berjatuhan. Karena memang Yonha tidak tahu harus bagaimana. Semua pilihan bisa membuat Lisa pergi darinya.
"Lisa-ya! Uri Lili. Jebal kajima," Hanna terua meracau, dengan pelukan sang suami yang semakin erat.
.....Chaeyoung memegang handuk basah di keningnya. Lalu melemparnya kesembarang arah. Dia duduk, memijat pelipisnya yang berdenyut.
"Apakah Lisa sudah sadar? Seharusnya aku tidak menuruti mereka tadi pagi," Chaeyoung beranjak dari ranjangnya, lalu masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan badan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
FanfictionSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...