Siang itu, ketika Lisa membuka matanya. Jisoo yang sedang menemaninya, langsung menangis haru. Mencium hangat dahi Lisa.
"Kenapa kau selalu membuat Unnie takut, Lisa-ya?"
Lisa hendak melepas masker oksigen yang dia kenakan saat ini, namun dengan cepat Jisoo menghalanginya. Adiknya ini benar-benar nekat.
"Lepaskan," entah kekuatan dari mana, Lisa bisa menghempaskan tangan Jisoo dari tangannya. Melepas masker oksigennya lalu berusaha untuk duduk.
"Gwenchana, Unnie." Lisa memeluk tubuh Jisoo. Merasakan kehangatan akibat pelukan itu. Walaupun Jisoo tak membalasnya. Mungkin marah karena tindakan Lisa yang dapat menyakiti dirinya sendiri.
"Ada kalanya aku berpikir untuk menyerah," Lisa merasakan Jisoo hendak melepas pelukannya. Namun dengan erat, Lisa tak mau dekapan itu terlepas.
"Tapi, jika sebuah puzzle hilang walau hanya 1 buah. Semuanya akan hancur." Gadis berponi itu memejamkan matanya ketika merasakan satu tetes air mata keluar.
"Maka dari itu, dalam setiap doaku. Aku ingin menua bersama kalian. Aku tidak ingin... Gadis-gadis yang kusayangi akan hancur." Jisoo yang mendengarnya mulai terisak. Membalas pelukan Lisa dengan kedua tangan bergetar.
"Unnie, jangan pernah berpikir aku lelah untuk berusaha bersama kalian eoh? Aku... Sampai saat ini masih terus berusaha agar takdir berbaik hati pada kita."
Jisoo mengangguk cepat dengan tangis yang semakin tidak bisa dia kendalikan.
"Arra. Arraseo,".....
Lisa berjalan keluar dari kamarnya setelah mandi , sore ini. 3 hari di rawat di rumah sakit, kemarin dia sudah bisa menghirup udara mansionnya yang menenangkan.
"Putri cantik Eomma ingin kemana, eoh? Bukankah Eomma menyuruhmu untuk tidak turun dari ranjang?" Hanna muncul dari arah tangga. Meraih kepala anaknya, lalu mencium hidung Lisa gemas.
"Aku sudah sehat, Eomma. Ku dengar Jennie Unnie sedang memasak. Aku ingin melihatnya," Lisa memeluk pinggang ibunya yang langsing. Memperlihatkan wajah menggemaskan pada sang ibu agar wanita itu luluh.
"Mwoya? Kau ingin menggoda Eomma?" Hanna menarik hidung Lisa hingga anak perempuannya itu meringis.
"Aniyo!" Ujar Lisa kesal, seraya mengusap hidungnya yang dia yakini sekarang sedikit merah.
"Pergilah."
Mata Lisa berbinar mendengarnya. Lalu mengecup semua sisi wajah ibunya.
"Gomawo, Eomma. Aku menyayangimu."Hanna mengangguk. Mengusap surai kecokelatan milik Lisa.
"Beberapa hari lagi ulang tahunmu dan Chaeyoung. Kalian menginginkan hadiah apa?""Kau sudah memberikan kami segala hal selama ini, Eomma. Kami tidak ingin meminta apapun lagi," ujar Lisa tersenyum lembut. Memang kenyataanya dia dan Chaeyoung sudah bertekat untuk tidak meminta hadiah pada orangtuanya tahun ini. Cukup mereka bersama, itu adalah hadiah terindah mereka.
"Jeongmal? Padahal Eomma sudah menyiapkan hadiahnya," ujar Hanna berlagak lesu.
"Jika sudah disiapkan, kami tidak akan menolak." Lisa berujar dengan cengiran lebar. Membuat Hanna semakin gemas dan kembali mencium hidung anak bungsunya.
.....
"Woah, kelihatannya enak." Lisa berseru ketika Jennie baru saja mengangkat beberapa cookies dari dalam sebuah oven.
"Tentu saja. Makanan buatanku tidak pernah gagal." Ucap Jennie bangga.
Lisa kemudian duduk di meja bar. Memperhatikan Jennie yang kini fokus pada nasi goreng kimchinya. Kakak keduanya itu memang sangat pintar memasak. Pantas banyak lelaki yang mendambakannya. Sudah kaya, pintar, baik hati, cantik, istri idaman pula.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
FanfictionSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...