Di perjalanan menuju rumah sakit, Lisa tak henti menangis. Menahan darah yang terus keluar dari perut Chaeyoung, membuatnya merasa begitu putus asa.
Sepanjang jalan, mobil Jimin dipenuhi suara tangis yang bersahut-sahutan. Namun yang mendominasi adalah suara Lisa. Jimin memang cukup khawatir pada Chaeyoung, tapi pria itu jauh lebih khawatir terhadap Lisa. Biar bagaimanapun, Jimin sudah mengenal Lisa sangat lama. Dia sudah menganggap Lisa sebagai adiknya. Semua perjalanan hidup Lisa selama hampir 5 tahun, Jimin ada di dalamnya. Membimbing dan mengenalkan Lisa jika dunia tak seindah apa yang ada dibenaknya.
Dan ketika melihat Lisa menangis seperti itu, adalah pukulan untuk Jimin. Selama dia mengenal gadis itu, Jimin tak pernah melihat Lisa semenyedihkan ini.
"Chaeng-ah. Berjuanglah, aku menunggumu." Ujar Lisa di tengah isak tangisnya.
Sesampainya di rumah sakit, ketika Dokter melihat keadaan Chaeyoung yang memprihatinkan, dia langsung menggiring brankar yang membawa tubuh Chaeyoung ke ruang operasi.
Rumah sakit itu terlalu besar, hingga Lisa merasa ruang operasi yang dituju sangatlah jauh. Sampai dipertengahan jalan, gadis itu memilih menyerah dengan tidak mengikiti brangkar Chaeyoung lagi.
Kedua tangan dan kakinya terasa mati rasa, dan Lisa tidak mau memaksakan diri melangkah lebih jauh. Setidaknya, Chaeyoung tau jika Lisa begitu menyayanginya.
"Gadis bodoh. Maaf, aku belum bisa menjadi adik yang baik bagimu." Gumang Lisa ketika brankar Chaeyoung menghilang dibalik belokan koridor.
Tangannya meraba dada bagian kirinya. Mengatur napas ketika jantung di dalam tubuhnya meronta hingga rasa sakitnya tidak bisa Lisa tahan lagi.
Kakinya bergetar, membuat Lisa harus meluruh ke lantai rumah sakit yang dingin. Seluruh badannya terasa begitu panas, dan tak ada seinchi pun di bagian tubuhnya yang tidak merasakan nyeri.
Ketika pandangannya berubah buram, Lisa menggelengkan kepalanya berharap penglihatannya kembali normal. Namun, siapa sangka jantungnya kembali memberontak dengan berdetak cukup kencang hingga menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Sampai dimana jantungnya itu terasa di rem secara tiba-tiba, dan Lisa yang benar-benar tidak merasakan hembusan napasnya sama sekali. Dia terhuyung, begitu pasrah akan apa yang terjadi kedepannya. Lalu yang terakhir Lisa rasakan ketika masih setengah sadar adalah, sebuah pelukan hangat yang mungkin akan Lisa rindukan nantinya.
.....
Yonha berjalan dengan langkah lebar di lorong rumah sakit. Tidak peduli oleh tatapan kagum pengunjung rumah sakit, juga tak peduli dengan istrinya yang tertinggal jauh dibelakang. Saat mendapat telepon dari Jisoo, Yonha merasa tulangnya sudah terlepas dari tubuhnya. Mendengar Chaeyoung kritis dan harus di operasi adalah kabar yang begitu buruk untuk pria itu.
"Jisoo-ya, bagaimana adikmu?" tanya Yonha tak sabaran ketika sampai di depan ruang operasi. Disana hanya ada Jisoo yang masih sesegukan dan seorang pria yang Yonha tidak kenal.
"Appa, maafkan aku. Aku gagal menjadi kakak yang baik." Jisoo meremas jas kerja sang ayah. Kembali menangis kencang mengingat betapa pucatnya wajah Chaeyoung, dan jangan lupakan darah adiknya yang terlalu banyak keluar.
"Aniyo, Sayang. Kau sudah melakukan yang terbaik, hm? Sekarang kita berdoa agar Chaeyoung diberi kesembuhan." Yonha berjongkok, menangkupkan wajah Jisoo dan menghapus air mata sulungnya itu.
Melihat Jisoo yang masih terpukul, Hanna memilih untuk diam. Walaupun kata hatinya benar-benar tak tenang. Seumur hidup, baru kali ini Hanna merasa begitu resah. Seperti rasa khawatirnya terasa berkali lipat, entah apa alasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
FanfictionSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...