45. Eyes

19.3K 1.9K 105
                                    

Harapan itu tak pernah pupus, walaupun ini sudah genap satu bulan dia tidak membuka matanya. Chaeyoung disana, setiap pagi selalu membisikkan kalimat-kalimat penyemangat juga hangat yang diharapkan bisa membuat Lisa bangun dari mimpi panjangnya.

Chaeyoung, dia amat berterima kasih pada Jennie yang saat itu mencegah Dokter Choi mencabut semua alat yang digunakan Lisa hingga saat ini. Karena jika hari itu Jennie tidak datang, Chaeyoung mungkin saat ini sudah gila karena kehilangan Lisa dihidupnya.

"Chaeyoung-ah, makanlah dulu. Kau baru saja keluar dari rumah sakit, jika kau tidak menjaga kesehatanmu maka kau bisa saja di rawat lagi." Jisoo datang menghampiri. Juga dengan baju khusus pengunjung ICU yang sama dengan Chaeyoung pakai saat ini.

"10 menit lagi, Unnie." Ujar Chaeyoung lirih tanpa menoleh pada Jisoo.

"Chae--"

"Hanya 10 menit. Aku janji."

Jisoo menghela napas. Lalu mengusap kepala Chaeyoung dan meninggalkan ruangan Lisa dengan wajah murung. Selama sebulan ini, ujian hidup keluarganya amatlah berat. Tidak ada satu pun yang bisa tertawa bahkan tersenyum barang sebentar saja. Hati mereka terlalu diselimuti rasa sakit hingga kebahagiaan secuil pun tidak dapat masuk.

"Hei, kesayanganku." Chaeyoung menyingkap poni Lisa. Wajah saudari kembarnya saat ini benar-benar pucat seperti tidak ada darah yang mengalir.

"Nanti, saat kau bangun. Kajja bersenang-senang?" Chaeyoung memejamkan mata setelah mengucapkan kalimat tanya itu. Hatinya gusar setiap kali dia berbicara, hanya suara elektrokardiograf yang menjawab.

"Aku ingin membeli ikan bersamamu." Ujar Chaeyoung lagi.

Untuk kesekian kalinya, Chaeyoung harus pasrah. Menunggu hari esok, esok, dan esoknya lagi untuk melihat mata Lisa terbuka. Karena lagi-lagi hari ini adiknya itu tak menunjukkan tanda-tanda untuk terbangun.

Akhirnya, Chaeyoung bangkit. Karena jika dia tak segera keluar makan Jisoo pasti akan menyeretnya untuk pergi makan. Setidaknya, Chaeyoung berusaha menuruti semua perintah kakaknya karena jika tidak pasti kedua kakaknya akan bertambah pusing.

"Aku tinggal sebentar, hm? Nanti aku akan kembali lagi,"

Chaeyoung mengusap poni Lisa, lalu menunduk hendak mencium kening kembarannya itu. Namun sebuah pergerakan pada bulu mata Lisa membuat Chaeyoung mengurungkan niatnya.

Gadis itu tersenyum haru dengan air mata menggenang di sudut matanya.
"Lisa-ya, kau dengar aku?"

Suara Chaeyoung bergetar. Gadis itu sangat ingin menangis sekarang, terlebih perlahan bola mata kecokelatan milik Lisa mulai terlihat.

Dengan tangan gemetaran dia menekan tombol merah di dekat ranjang Lisa. Lalu menggenggam tangan saudarinya itu dan mengecupnya berkali-kali.

"Aku tau, kau tidak akan pernah mengingkari janjimu."

.....

Langkah kaki berbalut sepatu boots high heels hitam itu berhenti tepat di depan kursi tunggu yang hanya dihuni oleh satu orang. Dengan berbekal dua kaleng soda di tangannya, dia duduk di samping seseorang yang sedang memejamkan mata itu.

"Butuh minuman dingin?" tawar Yera pada Jennie, membuat gadis bermata kucing itu menatap kearahnya.

"Ah, Ne. Khamsahamnida." Jennie menerima soda yang disodorkan Yera. Membuka tutupnya lalu meminum soda itu sedikit.

"Lisa belum bisa dipindahkan ke ruang rawat biasa. Keadaannya masih naik turun," beritahu Jennie pada guru tari Lisa yang seumuran dengannya itu.

"Hm, tadi Bambam dan Eunha memberitahuku saat di kantin." Yera meminum soda miliknya yang dibeli dari kantin rumah sakit. Gadis itu bersama beberapa muridnya setiap hari berkunjung ke rumah sakit walaupun tak setiap hari bertemu Lisa. Setidaknya, mereka selalu ada di dekat Lisa dan berharap Lisa merasakan kasih sayang yang mereka berikan.

Blood Ties ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang