Tangan kurus itu membuka dua kancing atas kemeja putihnya. Berdiri di depan kaca, dia menatap garis panjang yang ada di dadanya. Dengan lembut, disentuhnya garis yang sedikit menonjol itu menggunakan jari telunjuk. Membayangkan bagaimana dulu garis itu tercipta.
Ilbuleo myeoch baljagug mulleona
Naega eobs-i honja geodneun neol balabonda
Yeopjali heojeonhan neoui pung-gyeong
Heugbaeg geoli gaunde neon dwidol-abonda~Lisa menatap ponselnya yang berdering di meja nakas, lalu meraihnya dan menjawab panggilan telepon dari Dokter Choi.
"Kau kemari jam berapa?"
Lisa melirik jam dinding putih di kamarnya.
"Mungkin setelah makan siang.""Ingat, datang bersama orangtuamu. Mereka yang harus menentukan kau bagaimana kedepannya. Bukan dirimu sendiri," Baru beberapa menit saja Lisa sudah merasa kesal dengan Dokternya ini.
"Arra!" Jawab Lisa kesal. Dokter itu seperti takut sekali jika Lisa menolak pengobatan yang akan dia berikan. Oh ayolah, Lisa tidak akan membunuh dirinya sendiri. Dia masih cukup waras untuk bertindak egois.
"Lisa-ya," nada suara Dokter Choi berubah menjadi lirih, tapi Lisa tidak menangkapnya. Dia sedang terfokus pada baterai ponselnya yang hampir habis.
"Hm," Lisa mulai sibuk mengobrak-abrik laci meja, sedang tangan kirinya tetap menempatkan ponsel di telinga.
"Jangan mudah menyerah, eoh. Kau harus menyayangi dirimu sendiri. Bahkan ketiga saudaramu menyayangimu dengan sangat walaupun mereka harus mengorbankan nyawanya untukmu, mereka akan dengan sangat rela melakukannya." Ucapan Dokter Choi membuat Lisa menghentikan aktivitasnya. Merasa janggal dengan ucapan Dokter itu.
"Kau ini kenapa Dokter Choi?"
Lisa mendengar napas Dokter Choi yang berhembus berat.
"Aniyo. Hanya mengingatkanmu betapa beruntungnya kau memiliki kakak-kakak seperti mereka."Lisa diam. Tidak mengerti kenapa Dokter Choi bisa membahas kakak-kakaknya. Walaupun dia tak diberitahu, dia memang sudah merasa beruntung sedari dulu karena memiliki Unnie-unnienya.
"Ya sudah. 3 jam lagi kita bertemu. Ku tutup, Ne?" Sambungan telepon tertutup, dengan wajah Lisa yang bertanya-tanya. Hingga suara peringatan baterai lemah pada ponselnya kembali berbunyi, membuat gadis itu kembali mencari chargernya.
"Dimana aku menaruhnya?" Lisa mengacak rambutnya. Lupa meletakkan charger ponselnya dimana.
"Ah! Aku meminjam milik Chaeyoung saja. Ponsel kami kan sama," Lisa tersenyum lebar dan berjalan keluar dari kamarnya, beralih ke kamar Chaeyoung yang ada di sebelah.
Lisa membuka laci nakas Chaeyoung, tersenyum senang ketika melihat charger berstiker chipmunk ada di dalamnya. Tapi saat hendak meraihnya, mata Lisa malah tertuju pada map di bawah charger itu. Yang membuatnya bingung adalah logo rumah sakit tempat Dokter Choi bekerja.
"Eoh, apakah Chaeyoung sakit?" Lisa meraih map berwarna putih itu. Merasa ada yang tak betes setelah melihat tanggal disana.
"Kapan Chaeyoung kesana? Bukankah dintanggal ini dia..." Lisa terbelalak ketika mengingat itu adalah hari dimana Jungkook memberitahunya jika Chaeyoung membolos.
Lalu dengan pikiran kalut, takut jika Chaeyoung sakit, Lisa membuka map itu dengan tak sabaran. Membaca dengan cermat barisan kata di dalam sana.
"M-Mwo?" tangannya bergetar, matanya memerah. Dan jantungnya mulai berdetak tidak karuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
FanfictionSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...