Waktu memang sudah beranjak tengah malam, namun Lisa tidak merasakan kantuk sedikitpun. Walaupun dia sudah mengkonsumsi obat dan mendapat suntikan dari Dokter Choi. Rasanya... Lisa tidak ingin tidur. Gadis itu takut, ketika pagi datang namun dia tidak bisa merasakan terpaan sinar matahari.
Bangun dari ranjangnya, Lisa berjalan kearah Leo dan Luca yang malam ini tidur bersama. Leo entah kenapa sangat baik kepada Luca dari awal mereka bertemu. Bahkan kucing gemuk itu mau berbagi tempat tidur ketika Luca mengantuk.
"Kau pasti sangat bahagia memiliki teman, hm?" tanya Lisa pelan. Memandang Leo yang begitu nyenyak dalam tidurnya.
"Luca-ya, jaga hyungmu eoh? Dia terlalu kekanak-kanakan untuk menjadi kakakmu." Suara Lisa semakin lirih. Mengusap pelan bulu tebal milik Luca.
"Aku tidak tahu bagaimana takdir bermain. Tapi... Kalian harus berjanji akan menjaga diri baik-baik," Lisa menghela napas. Akhir-akhir ini hidupnya terasa begitu berat. Langkah kakinya begitu ragu setiap melihat jalan yang dilewatinya. Penuh dengan duri, dan ketika Lisa memilih untuk tetap maju, dia pasti akan meninggalkan darah di setiap langkahnya.
"Aku sebenarnya tidak apa-apa dengan semua rasa sakitku selama ini. Tapi, aku tidak bisa terus menjadi rasa sakit bagi orang-orang tersayangku." Satu titik air mata jatuh mengenai wajah Leo, hingga kucing itu menggeliat sebentar.
"Lisa-ya,"
Lisa terkesiap, cepat-cepat mengusap air matanya lalu bangkit berdiri. Menatap Chaeyoung yang kini berdiri di ambang pintu kamarnya.
"Eoh, Chaeyoung-ah? Kenapa rambutmu basah?" tanya Lisa bingung. Ini sudah tengah malam, dan apakah Chaeyoung baru selesai mandi?
"I-Ini..."
"Kemarilah," Lisa nenyuruh Chaeyoung masuk, sementara dia mengambil handuk di dalam kamar mandi.
"Jangan terbiasa mandi larut malam. Kau akan sakit," Lisa mengusap rambut Chaeyoung dengan handuk. Berusaha mengeringkannya dengan hati-hati agar Chaeyoung tidak kesakitan ketika rambutnya tertarik.
"Lisa-ya," Chaeyoung menggigit bibirnya. Menahan air mata ketika wajah serius Lisa tertangkap dari cermin di depannya.
"Hm?"
Chaeyoung berdiri, membuat Lisa terpaksa menghentikan kegiatannya. Menatap dalam diam, walaupun saat ini Chaeyoung sudah mulai menangis.
"Mianhae. Jongmal mianhae," Chaeyoung meraih tangan Lisa yang masih menggenggam handuk. Meremasnya kuat, menyalurkan betapa sakitnya dia saat ini.
"Arraseo," jawab Lisa pelan. Melepaskan tangan Chaeyoung perlahan.
Melihat Chaeyoung menangis, membuat Lisa kembali membenci dirinya sendiri. Lalu menghela napas, dan meletakkan handuknya di pinggir ranjang.
"Lisa-ya," Chaeyoung semakin ingin menangis ketika saudari kembarnya itu berjalan menjauhinya. Memilih berdiri di depan jendela kamar yang menampakkan tangit malam.
"Aku selalu membuatmu menangis," Lisa tertawa lirih. Memandangi bintang yang malam ini terlihat cukup banyak.
"Aniyo!" Chaeyoung berlari kearah Lisa. Memeluk gadis itu dari belakang.
"Aku... Aku hanya menyesal telah mengatakan hal yang tak pantas tadi."
Lisa tersenyum tipis.
"Kenapa harus minta maaf? Kau bebas mengatakan apapun padaku,""Lisa-ya,"
Lisa berbalik. Menghapus air mata yang menodai wajah mulus milik Chaeyoung. Tersenyum miris ketika pipi yang kini dia sentuh tak sebesar dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
FanfictionSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...