Chaeyoung menangis tersedu-sedu dipelukan Hanna. Terus menyebut nama Lisa dengan suara yang sudah serak. Menyesal dan menyalahkan diri sendiri, kenapa dia harus meng-iyakan ajakan ibunya untuk periksa. Padahal niat Chaeyoung ke rumah sakit untuk melihat adiknya yang baru sadar. Tapi belum sempat melihatnya, dia sudah ditarik oleh Hanna untuk melakukan pemeriksaan.
Kenapa Chaeyoung harus melihat Lisa yang selalu kesakitan? Dia ingin melihat Lisa yang ceria tanpa belenggu penyakitnya. Sedikit saja, Chaeyoung ingin melihat senyum Lisa. Sebentar saja, dia ingin mengobrol hangat dengan Lisa. Setidaknya untuk meminta maaf perihal kejadian tempo hari. Tapi takdir tidak memberi Chaeyoung kesempatan. Dan malah gadis itu menyaksikan Lisa yang sekarat beberapa waktu lalu.
"Hanna-ssi," mereka tidak sadar ketika Dokter Choi keluar dari ruangan Lisa. Mengakibatkan keduanya terkejut.
"Bagaimana Lisa?" Hanna bangkit dan bertanya dengan panik.
"Apakah kau dan Yonha belum memutuskannya?" tanya Dokter Choi membuat Hanna menunduk dalam. Seperti ada beban berat di pundaknya hingga sulit bagi Hanna untuk berdiri tegak.
"Suamiku tidak ingin." Jawab Hanna lirih.
"Kalian yakin?"
Hanna kembali duduk, membiarkan Dokter Choi dan Chaeyoung menyaksikan sisi rapuhnya. Menangis tanpa suara namun air mata yang menetes sangat banyak.
"Ini sangat membingungkan. Kami harus bagaimana?" tanya Hanna penuh dengan keputus asa'an.
Dokter Choi menghela napas berat. Tidak memiliki jawaban menyenangkan untuk pertanyaan Hanna barusan. Dia pun sama ragunya dengan orangtua Lisa.
"Kondisinya sangat rentan. Jangan biarkan dia terkejut barang sedikitpun. Juga jangan tinggalkan dia sendiri." Dokter Choi berpesan, lalu melangkah pergi dari sana.
Chaeyoung memandang kasihan ibunya. Tersirat betapa lelah wajah sang ibu karena terus terjaga sedari kemarin tanpa istirahat dan membersihkan badan.
"Eomma, aku kedalam dulu ne?" setelah mengusap bahu Hanna, Chaeyoung masuk begitu saja ke dalam ruang rawat Lisa. Ibunya itu terlihat sangat frustasi hingga tidak merespon ucapannya.
.....
"Satu minggu lagi aku berulang tahun," ujar Jisoo lirih. Memecahkan keheningan di ruang kerja Jennie yang luas itu.
"Eoh. Kau ingin hadiah apa?" tanya Jennie berusaha menyunggingkan senyumnya. Sungguh, saat ini rasanya sangat sulit untuk tersenyum.
"Aku sudah membeli tiket liburan untuk kita berempat. Tapi sepertinya tidak akan terlaksana." Jisoo berujar dengan senyum hambar.
Jennie memilih diam. Membenarkan ucapan Jisoo. Karena nyatanya adik bungsu mereka tidak akan bisa melakukan perjalanan jauh dengan kondisi yang buruk.
"Aku rasanya menjadi kakak yang paling bodoh sedunia," keluh Jisoo dengan mata berkaca. Tapi senyum masih terpatri di bibir mungilnya.
"Unnie,"
"Seharusnya kita memiliki banyak kenangan selama 5 tahun ini. Tapi dengan bodohnya aku menyia-nyiakan kesempatan itu." Jisoo mulai menangis, menutup wajahnya yang mulai dibanjiri air mata.
"Bagaimana caranya supaya Lisa tidak pergi, Jennie-ya? Aku rasanya tidak akan sanggup."
Jennie memeluk Jisoo. Mengusap bahu sang kakak, berharap tangis Jisoo berhenti. Namun ternyata sebaliknya, tangis Jisoo semakin keras hingga bahunya bergetar hebat.
.....
Chaeyoung mendekap tangan Lisa yang tidak dibalut infus. Mengusapnya dan sesekali menciumnya lembut, dengan mata memperhatikan wajah Lisa yang setengahnya tertutupi masker oksigen.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
FanfictionSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...