27. Critical

20.8K 2K 193
                                    

"Kenapa adik kalian lama sekali," ujar Hanna gusar karena walaupun ini masih 15 menit setelah Lisa berpamitan, tapi Hanna tahu letak kantin sangatlah dekat. Hanya membutuhkan waktu beberapa menit untuk sampai. Dan seharusnya 10 menit cukup untuk Lisa membeli minuman hangat karena pada jam seperti ini, kantin rumah sakit sangatlah sepi.

"Aku akan menyusulnya. Anak itu pasti berdiam diri dulu di kantin," Jennie bangkit sambil menggerutu kesal. Lalu keluar dari kamar rawat Jisoo dengan wajah tertekuk.

Sampai di kantin rumah sakit, Jennie tidak menemukan Lisa. Bertanya pada petugas kantin pun mereka tidak tau dan bilang jika Lisa tidak menjamah area mereka.

Mendadak Jennie mulai panik. Dia berjalan tergesa menelusuri lorong-lorong sepi itu. Mengabaikan bulu kuduknya yang berdiri karena takut dengan suasanya sunyi disana.

Hingga langkah kaki Jennie tiba pada lorong yang lumayan jauh dari kamar rawat Jisoo, gadis itu terbelalak melihat seseorang dengan pakaian mirip Lisa tergeletak di bangku panjang.

Jennie mendekat, dan rasa kagetnya menjadi berkali-kali lipat ketika gadis itu memang adalah adiknya yang sedang mengerang kesakitan dengan suara tertahan.

Dengan tangan gemetar, Jennie memegang wajah Lisa yang merah dan dipenuhi keringat. Suhu tubuh adiknya sangat dingin dan Jennie tak bisa menahan tangisnya.

"Lisa-ya, ini Unnie." Jennie tak mendapati respon. Adiknya terlihat tersiksa karena sakitnya.

Jennie buru-buru melepas jaket yang dia pakai, lalu menyelimuti Lisa dan menoleh kesembarang arah. Berharap menemukan seseorang yang bisa menolong adiknya.

"Lisa-ya, lihat Unnie." Jennie mengusap pipi Lisa.

"Nan... Gwen-chana," dengan napas tersendat, Lisa mengatakan kalimat itu. Membuat Jennie lagi-lagi harus menangis melihat betapa keras adiknya itu menyembunyikan rasa sakitnya.

"Jangan begini. Jika sakit, bilang sakit eoh? Jangan ditahan, Unnie akan semakin tersiksa melihatnya." Jennie mengusap keringat Lisa dengan penuh kelembutan. Lalu tersentak ketika mendengar suara langkah kaki di lorong yang sepi itu. Cepat-cepat dia menoleh dan menemukan satu petugas rumah sakit yang baru keluar dari sebuah ruangan.

"Chogiyo!" Teriak Jennie kencang hingga petugas itu menoleh. Dan dapat Jennie lihat petugas itu berlari kearahnya dengan wajah panik.

"Nona, ada apa?" tanya petugas itu yang kaget melihat keadaan Lisa.

"Tolong, adikku punya penyakit jantung dan sekarang kambuh." Mata petugas itu terbelalak lalu pamit pada Jennie untuk memanggil bantuan. Tak lama beberapa perawat dan satu dokter menghampirinya dengan membawa brangkar.

"Sayang, tetap buka matamu eoh? Sebentar lagi. Jangan tutup matamu," Lisa bisa mendengar suara parau Jennie. Tapi sungguh matanya terasa sangat berat, ditambah napasnya tercekat di tenggorokan. Masker oksigen yang di pakaikan untuknya sama sekali tidak membantu.

"Dengarkan Unnie. Jangan tutup matamu atau Unnie akan marah, eoh?" suara Jennie bergetar hebat ketika mengatakan itu. Lisa bahkan bisa merasakan air mata kakaknya terus jatuh di punggung tangannya.

Ingin Lisa mengatakan kepada Jennie jika ini terlalu sakit. Lisa sudah ingin menyerah dan melepaskan semua kesakitan yang dia punya. Tapi bernapas saja dia tidak bisa apalagi berbicara panjang seperti itu.

Dengan sisa tenaganya, Lisa menggenggam tangan Jennie. Lalu membuka mulutnya hendak mengatakan sesuatu, tapi rasanya sangat sulit. Hanya bibirnya yang bergetar tanpa ada suara yang keluar sedikitpun. Hingga entah bagaimana, Lisa merasa menggigil hebat dan jantungnya seperti ditarik keluar. Ini sungguh lebih menyakitkan dari biasanya. Bahkan Jennie menangis kencang melihat respon tubuh adiknya yang tiba-tiba kaku. Gadis itu merutuki ruang UGD yang sangat jauh.

Blood Ties ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang