Jennie melempar begitu saja handuk basah yang semula menempel pada dahinya. Dia demam. Karena beberapa minggu ini tak mau makan, tidur, dan istirahat dengan baik.
"Lisa kembali collaps,"
Ucapan Jisoo semalam melalui sambungan telepon masih terngiang-ngiang di otak Jennie. Bagaimana gadis itu pingsan setelahnya dan tidak mengingat apapun. Dan sekarang, hari sudah beranjak siang, itu tandanya Jennie melewatkan banyak waktu untuk mengetahui kondisi Lisa.
"Kau mau kemana?" ketika Kris baru memasuki kamar Jennie untuk menyuguhkan makanan, lelaki itu terkejut melihat Jennie sedang memakai mantel abu-abunya.
"Melihat Lisa." Jawab Jennie singkat, sambil memasukkan dompet kedalam tas selempangannya.
"Tapi kau sedang sakit."
"Aku tidak peduli."
"Jennie-ya!" Kris sudah tak tahan, tapi membentak Jennie adalah sebuah ketidak sengajaan.
"Adikku sekarat dan kau memintaku untuk tetap diam disini?!" Jennie berteriak marah. Sungguh, saat ini hati dan pikirannya sedang kalut.
"Tenanglah, Nona Lisa sudah stabil."
Jennie mengusap wajahnya kasar.
"Bocah itu benar-benar brengsek. Apakah dia sudah tidak tahan disini bersamaku hingga ingin sekali untuk pergi?" racau Jennie dengan air mata yang mulai tumpah."Jennie-ya, tidak bisakah kau lepaskan saja Lisa?"
Pertanyaan Kris tentu saja membuat Jennie terkejut hingga membulatlan matanya. Mana mungkin dia melakukan hal itu?
"Mwo?" tanya Jennie yang masih tak percaya oleh pertanyaan Kris.
"Jennie-ya, Lisa sudah terlalu sakit. Setiap dia melemah, suntikan penguat jantung diberikan. Bukankah itu akan lebih menyiksanya?" Kris berucap sendu. Sungguh, Lisa sudah seperti adik Kris sendiri. Dan lelaki itu sangat sakit ketika Lisa selalu dipaksa untuk tetap ada.
"Omong kosong. Aku akan ke rumah sakit."
Jennie berjalan melewati Kris begitu saja. Berusaha untuk tidak marah karena biar bagaimana pun Kris sangat berjasa atas keselamatannya juga adik serta kakaknya.
.....
Ini sudah genap tiga minggu, tapi Lisa masih betah untuk tertidur dan terbuai akan mimpi yang tak berujung. Membiarkan satu-persatu orang tersayangnya putus asa.
Chaeyoung disana. Duduk di samping ranjang Lisa dengan wajah pucat yang tertutupi masker. Menggenggam tangan Lisa yang selalu dingin dan memandang was-was wajah kembarannya yang kini dipenuhi oleh selang. Di mulut, bahkan di hidungnya. Membuat Chaeyoung sangat tidak tega. Pasti itu sangat menyakiti Lisa.
"Lisa-ya," Chaeyoung bersuara lemas. Gadia itu sampai sekarang masih menjadi pasien karena tidak mau makan dan mengkonsumsi obat.
"2 bulan lagi kita berulang tahun. Kau tidak ingin merayakannya?" satu tetes air mata jatuh tepat di punggung tangan Lisa yang kurus dan pucat.
"Lisa-ya, sejujurnya aku lapar." Ujar Chaeyoung, tangannya mulai merayap ke atas kepala Lisa. Mengusap poni sang adik yang mulai sedikit panjang.
"Ayo bangun, dan suruh Jennie Unnie memasak nasi goreng kimchi kesukaan kita berdua." Chaeyoung mengatakan itu masih dengan suara lemas. Karena kenyataannya dia bicara benar jika dia memang lapar.
Chaeyoung menghela napas. Bersandar pada punggung kursi ketika perutnya berdenyut nyeri. Perlahan, mata gadis itu terpejam. Bukan tidur, tapi sedang merenungkan sesuatu. Perihal janji Lisa kepadanya, perihal keadaan Lisa yang tidak kunjung membaik. Dan perihal Lisa yang sudah tidak mendatanginya di mimpi lagi beberapa hari ini. Chaeyoung rindu. Setidaknya, walaupun dalam mimpi Chaeyoung masih bisa melihat senyum Lisa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blood Ties ✔
ФанфикSeberapapun jarak yang akan menghalangi mereka, mereka tetaplah saudara sedarah. Ikatan darah tidak dapat dihalangi oleh badai sebesar apapun. "Maafkan aku." - Kim Jisoo/Jisoo Kim "Aku menyayangi kalian." - Kim Jennie/Jennie Kim "Aku iri." - Kim Cha...