2. Masih belum ikhlas

6.5K 298 8
                                    


Bau betadine, alkohol, dan revanol yang menusuk adalah bau pertama yang Ayra hirup saat matanya terbuka di ruang UGD. Kepalanya masih sedikit pening, badannya pun masih lemas. Jantungnya masih abnormal akibat kecelakaan tadi.

Perawat membolehkan Ayra pulang setelah cairan infus habis. Tidak ada luka serius kecuali lima jahitan di lengan dan beberapa luka kecil dibagian punggung tangan. Hanya saja pergelangan kaki dan pinggul terasa nyeri. Tapi masih bisa degerakkan dan dipakai untuk berjalan. Setelah di urut nanti dirumah pasti akan sembuh.

Rumah? Bagaimana dengan Ayah? Pasti Ayah khawatir. Sudah jam tujuh dan dirinya belum juga kembali. Perlahan Ayra beringsut bangun, mencari hape didalam tas yang diletakkan dipinggir ranjang rumah sakit. Satu tangannya memegang kepala yang nyut-nyutan. Mungkin sakit akibat benturan keras di aspal tadi.

Untung dirinya memakai helm, kalau tidak kepalanya bukan hanya sakit biasa melainkan akan dijahit seperti pengendara ugal-ugalan yang menurut informasi perawat kepala dibagian belakang bocor.

Ayra memandang bad hospital didepannya yang dikelilingi dokter dan perawat. Serta satu wanita berhijab sepinggang berwarna coksu. Mungkin walinya.

Sebenarnya Ayra ingin marah, ingin memaki-maki pengendara motor yang menabraknya tadi. Sudah tahu didaerah pasar sedang ramai orang, masih saja ngebut tanpa menurunkan sedikit kecepatan motornya. Tidak tahu sikon. Pasti orang gak benar. Tiba-tiba Ayra penasaran. Ingin tahu seperti apa rupa orang yang sudah membuatnya celaka hingga harus berakhir di ranjang UGD di jam dan waktu sepagi ini.

"Abhi, diam dulu. Jangan gerak-gerak. Itu luka yang didagu masih diobati."terdengar suara cemas milik wanita berhijab coksu.

"Gak usah. Cuma luka kecil. Dikasi obat merah juga sembuh,"pria yang dipanggil Abhi itu menolak perintah sang Mami.

"Luka kecil gimana?! Itu robek dan harus dijahit,"mami mendelik kesal pada Abhi."lagian kamu ini subuh-subuh bukannya dirumah, bantu Mami, ini malah keluyuran. Sampai kecelakaan gini, jahitan dimana-mana. Motor ringsek. Mami harus bilang apa kalau papi kamu pulang nanti,"

Abhi berdecak. Menatap Maminya jengah karena terlalu kepo."Bilang aja kecelakaan, susah banget sih mi,"sahutnya cuek.

"Kalau motor sih masih masuk akal dibilang kecelakaan. Tapi luka-luka yang dijahit ini bukan karena kecelakaan tadi tante,"dokter Alan menanggapi dengan pandangan dan tangan fokus membersihkan luka didagu Abhi.

Dahi Mami berkerut."Maksud kamu gimana Lan?"

Dokter Alan tersenyum kecil sebelum menjawab. Sementara Abhi sudah menghujam dokter Alan dengan tatapan mematikan."Jahitan di perut, di lengan, dan di bahu itu karena sabetan pisau Tan,"sahut dokter Alan santai. Sama sekali tak terpengaruh dengan tatapan Abhi yang sepertinya siap menerkamnya sebentar lagi."Terus yang dikepala, itu bukan karena benturan. Tapi karena pukulan benda tumpul,"

Mami menutup mulut mendengar perkataan dokter Alan."Ya Allaaaaaah, maksud kamu... Abhi diserang??"pekik Mami nyaring."Abhi anak tante diserang orang jahat??"

"Bukan diserang tan, lebih tepatnya dia baru selesai tawuran,"

"Tawuran gigi lo?!"sembur Abhi. Menepis kasar tangan dokter Alan."Nggak Mi, jangan didengar. Dia tukang ngibul."

Dokter Alan mendesis. Tangan yang ditepis Abhi barusan malah menekan luka menganga di dagu Abhi, membuat lelaki itu mendesah kesakitan.

"Yang sopan sama yang tua,"dokter Alan masih menekan-nekan luka Abhi. Sementara Abhi mengaduh karena sakit."Disini saya dokter, diluar saya juga masih anggota keluarga kamu yang harus kamu hormati."

"Aduh Lan, Alan, itu jangan ditekan-tekan gitu, Abhinya kesakitan,"Mami menepuk pundak dokter Alan. Wajahnya meringis melihat putranya mengaduh keskitan.

Jodoh tak Bersyarat (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang