Disaat semua orang sedang meringkuk didalam selimut sembari memeluk guling berselancar didunia mimpi, Ayra justru masih terjaga. Duduk didepan toko maret-maret bersama dengan Abhi.Setelah drama di kantor polisi yang berakhir ricuh dengan Abhi sebagai tersangka utama memulai pemukulan terhadap Damar, lelaki itu hampir saja bermalam didalam jeruji besi kalau saja Ayra tidak memohon untuk melepaskan Abhi dengan menandatangi perjanjian bebas bersyarat.
Kelakuan Abhi akan dipantau oleh polisi dan wajib melapor satu kali dua puluh empat jam.
"Permisi,"Ayra bersuara."Ini… sampai kapan kita duduk disini? gak mau pulang?"tanya Ayra melihat jam di hape menunjukkan pukul satu dini hari.
Masalahnya, kelopak matanya sudah tidak sanggup lagi untuk terbuka dengan benar. Kantuk itu sudah menyerang sejak tadi. Belum lagi rasa was-was karena takut Ayah tiba-tiba bangun dan mencari keberadaannya tidak ada dikamar.Tapi lelaki didepannya malah tak berkutik dikursinya dengan kepala terkulai kebelakang disandaran kursi. Kedua matanya terpejam rapat.
Pertanyaan Ayra hanya dianggap angin lalu oleh Abhi. No respon.
Dimeja, tergeletak obat-obatan lengkap dengan kain kasa juga kapas. Dua kaleng kopi masih tersegel. Belum disentuh oleh si empunya.
Sudah tiga puluh menit berlalu dengan kebisuan. Ayra menghembuskan nafas keras. Kesal karena terjebak dalam situasi menjengkelkan bersama dengan si preman yang mendadak bisu sejak keluar dari kantor polisi.
Bingung harus berbicara dengan cara apa agar tidak lagi diabaikan, Ayra menendang kaki kursi Abhi. Menimbulkan suara decitan cukup nyaring dan berhasil membuat Abhi duduk dengan tegak. Sedikit kaget karena kursi yang didudukinya dengan tenang tiba-tiba bergeser kebelakang.
"Bisa gak sih kalau orang ngomong itu didengerin? Dijawab. Bukan malah diabaikan,"rutuk Ayra dengan wajah kesal.
Abhi berdeham sekali. Baru sadar kalau ia sedang tidak sendirian. Ada sosok mungil yang diteriakinya dilapangan tadi sedang menatapnya dengan mata merah bercampur ekspresi kesal.
Abhi kembali berdeham. Entah untuk apa. Mata itu selalu membuatnya risih. Menimbulkan rasa gugup dalam bersikap dan berbicara.
Tangan Abhi terulur. Meraih kaleng minuman, membuka segel lalu meneguknya. Berharap kafein didalamnya bisa menghilangkan rasa gugup yang menyiksa.
"Ini sudah hampir jam dua pagi, aku mau pulang. Ngantuk. Capek. Mau tidur."
"Aku? Kita sudah seakrab itu sampai harus ber-aku kamu?"
"Nggak. Itu hanya kebiasaan. Kalau kamu keberatan aku bisa ganti pakai saya atau gue mungkin,"
Kepala Abhi menggeleng."Sesuai kebiasaan kamu saja,"putusnya kemudian.
Mendengar Ayra menggunakan 'aku' terasa seperti hubungan mereka sudah terjalin sejak lama. Terdengar merdu ditelinga Abhi. Terasa sangat akrab. Padahal pertemuan mereka selalu terjadi dalam keadaan tidak baik.
"Ini es batu,"Ayra mengulurkan es batu yang dibungkus kain."Ditekan-tekan ke bagian yang memar supaya bengkaknya menghilang."
Abhi menerima kain pemberian Ayra dan menekan-nekan pada bagian wajah yang nyeri.
"Luka dibibir, mau aku obati atau diobati sendiri?"
Gerakan tangan Abhi terhenti. Terpaku sejenak dengan perhatian yang Ayra berikan.
"Aku yang obatin?"Ayra menggerak-gerakkan salep ditangan. Menunggu jawaban Abhi.
"Harus minta ijin dulu?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh tak Bersyarat (End)
RomanceKatanya, Love is blind. Tidak memandang rupa, kasta juga status. Asal hati sudah memilih, dan jika cinta sudah memanggil maka tiga kata diatas itu sudah tak penting lagi. Namun bagaimana jika seorang Abhimanyu, lelaki yang tidak pernah serius dengan...