Suara kasak - kusuk dari dalam kamar Mami semakin membuat Abhi penasaran. Setelah menempelkan telinga dipintu dan sama sekali tidak berhasil mendengar apapun, Abhi mendorong pintu itu perlahan.
Mami dan Papi yang sama - sama berdiri saling melempar raut wajah kesal, menoleh berasamaan ke arah Pintu. Pada kepala Abhi yang menyembul dibaliknya.
"Mi, dicariin orang - orang. Disuruh ke taman belakang, bentar lagi Oma tiup lilin,"Abhi bersiap menutup pintu karena baik Mami dan Papi sama sekali tidak merespon perkataannya.
Suasana apa ini, dingin dan tegang. Apa mereka sedang bertengkar?
"Abhi, sini kamu,"perintah Mami dengan suara sedikit membentak.
"Mami,"seru Papi."Kita bicarakan ini nanti saja, sekarang kita temani Ibu dulu. Jangan rusak acara malam ini."
"Diam kamu, Mas,"tepis Mami pada tangan Papi yang mencoba merangkul pundaknya. "Pembicaraan antara kita sudah selesai. Dan sudut pandang kita ternyata masih sama seperti dulu. Sangat jauh berbeda. Sekarang, giliran aku bicara dengan Abhi. Mas keluar saja,"
Papi menghela nafas berat."Ya sudah terserah kamu. Ingat, Mi. Keputusan tergesa - gesa yang diambil saat kita sedang emosi itu hanya akan menyakiti banyak orang. Jangan sampai kamu menyesal."
Abhi masih belum mengerti maksud dari ucapan Papi. Ketika Papi mewatinya dan menepuk pundaknya seakan mengatakan untuk tenang dan sabar lewat sorot matanya, Abhi masih belum mengerti juga. Ada apa ini sebenarnya?
"Ada apa, Mi? Mami bertengkar sama Papi?"
"Kamu,"tunjuk Mami tepat pada wajah Abhi."Suruh Ayra pulang sekarang juga. Berhenti berhubungan dengan dia. Jangan pernah temui dan bawa dia ke hadapan Mami lagi, mengerti?!"
Abhi membuang nafas keras - keras. Mami sudah tahu ternyata.
"Menikah? Kalian? Jangan mimpi. Bikin Mami jijik,"
"Papi benar, kita bicarakan ini nanti saja. Kita keluar dulu temani Oma,"
"Abhi!!"
"Nanti, Mi,"Abhi menoleh dengan tatapan memohon."Kita bicarakan ini nanti, dengan Ayra, dengan Papi, dengan Oma, dan semua keluarga besar kita."
"Tega sekali kamu menusuk Mami seperti ini?!"satu lemparan bantal mendarat mengenai tubuh Abhi."Kamu sudah membohongi Mami, kamu gak jujur sama Mami. Kamu bikin Mami malu dihadapan Airani!!"suara Mami menggelegar. Memekakkan telinga. Wanita itu kini juga sedang menangis. Tangis yang bercampur dengan amarah.
Abhi mengusap tengkuknya sebelum memungut bantal yang tergeletak dilantai. Lagi, Abhi menghela nafas untuk menghirup oksigen sebanyak - banyaknya.
"Kamu tau apa yang Airani bilang tadi? Dia bilang selera kamu rendah. Dia bilang percuma kamu jadi anak Mami kalau ujung - ujungnya mentok di janda. Dia juga bilang kasihan karena kamu harus menerima bekas dari Akmal. Kamu mau bunuh Mami? Kamu senang lihat Mami tiba - tiba mati kena serangan jantung? Kamu berharap Mami mati? Iya??!"
Abhi hanya terdiam sambil memeluk bantal, memandangi Mami yang berteriak tanpa berniat sedikitpun untuk melawan. Abhi tahu bentakan berisi ucapan kasar itu karena luapan emosi akibat segala macam perasaan buruk yang sedang menderanya.
Setelah perasaan buruk itu hilang, Mami akan kembali memikirkan masalah ini dengan serius dan kepala dingin. Memutuskan secara bijak tanpa harus merasa ada orang yang tersakiti. Karena memang begitulah Maminya. Malaikat tak bersayapnya tidak mungkin tega membiarkan anaknya hidup sengsara.
Jadi sabar saja, dengarkan saja semua omelan pedasnya.
"Kalau kamu memang serius ingin menikah, cari wanita yang diatas Mikha. Bukan malah mencari wanita yang jauh levelnya dibawah Mikha!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jodoh tak Bersyarat (End)
RomanceKatanya, Love is blind. Tidak memandang rupa, kasta juga status. Asal hati sudah memilih, dan jika cinta sudah memanggil maka tiga kata diatas itu sudah tak penting lagi. Namun bagaimana jika seorang Abhimanyu, lelaki yang tidak pernah serius dengan...