46 : 쓴 (Bitter)

3.9K 406 135
                                    

Jisoo mendadak kehilangan mood untuk melanjutkan tulisannya di tengah-tengah mengetik. Padahal dua minggu lagi ia harus mengirim tulisannya tersebut ke editornya dan Jisoo belum menulis sampai pada konflik utama. Bagaimana bisa dirinya menulis konflik sementara ia masih belum mendapatkan konflik yang pasti untuk cerita yang di tulisnya.

Gadis itu menutup layar laptopnya seraya membuang nafas kasar. Melepas kaca mata pelindung radiasinya dan menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi yang ia duduki, lalu memejamkan matanya berharap rasa pening di kepalanya berkurang.

Rasanya kepalanya berat sekali. Banyak hal yang memenuhi dan mengganggu pikirannya saat ini. Termasuk kedatangan Heejung kemarin saat dirinya sedang berada di rumah Seokjin.

Jujur saja, Jisoo tidak bisa berhenti memikirkan hal itu. Ia tahu Heejung hanya bermaksud berkunjung setelah beberapa minggu tidak bertemu dengan Seokjin yang merupakan temannya. Tapi, apakah harus wanita itu memeluk Seokjin di hadapannya? Apakah Heejung dan Seokjin memang sudah terbiasa melakukan kontak fisik berupa pelukan?

Ayolah, dirinya tidak pernah melakukan hal itu dengan laki-laki manapun selain Seokjin. Meskipun dirinya mempunyai banyak teman laki-laki, tetapi Jisoo tidak pernah melakukan sentuhan fisik dengan mereka selain memukul.

Jisoo sempat berpikir. Mungkin pergaluan serta cara pertemanan disana berbeda dengan disini dan Seokjin maupun Heejung mulai terbiasa dengan cara pertemanan di Australia. Tetapi terkadang, dimanapun berada cara pertemanan itu berbeda-beda. Mungkin, Jisoo saja yang terlalu menjaga jarak dengan teman laki-lakinya.

Argh! Entahlah, memikirkan hal semacam itu membuatnya pusing sendiri. Yang jelas, Jisoo tidak suka melihat Seokjin melakukan kontak fisik dengan perempuan lain.

Jika Seokjin marah hanya karena melihat Jisoo tersenyum pada Jimin dan Jungkook, kenapa dirinya tidak boleh marah saat Seokjin di peluk oleh wanita lain? Jisoo juga berhak marah. Mengingat hubungannya dengan Seokjin kini sudah resmi terikat dalam sebuah pertunangan.

Ponsel Jisoo terus berdering sejak tadi. Sudah ada tiga panggilan tak terjawab, namun Jisoo enggan menjawab panggilan tersebut. Dirinya masih kesal pada Seokjin yang telah membiarkan perempuan lain memeluknya.

Membuang nafas, Jisoo beranjak dari tempat duduknya dan hendak beralih ke kasur untuk tidur dan melupakan semua pikiran yang menganggunya. Namun, suara bel rumah membuat Jisoo mengurungkan niatnya. Ia sempat menggerutu karena ada orang yang berkunjung hampir selarut ini.

Dan Jisoo berharap, semoga saja itu Ibunya yang tidak jadi pergi kerumah Nenek, atau Jihyun yang pulang dan membatalkan acara menginap di rumah temannya. Karena jujur saja, Jisoo kesepian berada dirumah sendirian.

Bel rumah kembali di bunyikan oleh seseorang yang berada diluar saat Jisoo menuruni tangga rumahnya. Ia mempercepat langkahnya sampai ke pintu utama, lalu membukanya.

"Ada kiriman untuk nona cantik dari pria paling tampan!"

Jisoo hampir saja tertawa karena tingkah Seokjin dan cara bicara pria itu yang menggelikan. Ia terpaksa menahan tawanya karena ingin menunjukan bahwa dirinya juga bisa marah dan kesal. Coba pikirkan, kurang sabar apalagi Jisoo selama ini? Ia tidak pernah marah dan selalu memendam rasa cemburunya sendirian.

"Ini sudah malam, mau apa kesini?" tanya Jisoo dingin.

"Ibumu bilang kau sendirian dirumah, makanya aku kesini untuk menemanimu," jawab Seokjin. "Dan coba tebak aku membawa apa?"

Jisoo menaikkan sebelah alisnya seraya melipat tangannya di atas perut. "Apa?"

Seokjin mengangkat kantung plastik yang di dalamnya terdapat sebuah box yang berisi makanan. "Chicken!"

Long Distance RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang