Menghela nafas kasar, Jisoo melempar buku catatannya pada laptop yang menyala di hadapannya. Ia membuka kaca matanya yang berfungsi untuk melindungi matanya dari sinar radiasi, lalu ia mengusap wajahnya dengan gusar.
Sudah cukup lama ia duduk di hadapan laptopnya untuk merevisi naskahnya yang di kembalikan oleh editornya. Kepalanya seakan ingin meledak, memikirkan kelangsungan jalan cerita yang ia tulis untuk novel keduanya. Buku catatannya penuh dengan tulisan dan coretan yang khusus untuk menulis semua ide dan jalan cerita yang akan ia tuangkan melalui sebuah tulisan.
Jisoo melirik jam dinding, waktu menunjukan pukul dua belas tengah malam. Ia menghela nafas seraya membenturkan kepalanya ke atas keyboard laptop seraya merengek pelan. Mengingat kembali pesan dari editornya beberapa jam lalu soal naskahnya yang harus selesai minggu depan, membuatnya frustasi.
Bagaimana caranya menyelesaikan naskah dengan waktu sesingkat itu? Berdasarkan pengalamannya menulis sebuah novel, waktu yang ia perlukan untuk menyelesaikan tulisannya kurang lebih hampir tiga bulan. Bahkan lebih beberapa hari.
Beberapa saat kemudian, ponselnya berdering. Perlahan Jisoo mengangkat kepalanya dari atas keyboard seraya meraih ponselnya yang terletak di samping laptop. Tanpa melihat nama sang penelepon, Jisoo menjawabnya dan mendekatkan ponselnya ke telinga.
"Yeoboseyo?" sahut Jisoo dengan suara parau.
"Kau masih bangun rupanya? Aku kira kau sudah tidur." ucap Seokjin seraya tersenyum.
Jisoo melebarkan matanya, menjauhkan ponselnya dari telinga dan melihat nama Seokjin yang tertera di layar ponselnya. Lalu ia kembali menempelkan ponselnya ke telinga seraya duduk tegap.
"Eoh, oppa?"
"Apa yang membuatmu masih terbangun?" tanya Seokjin.
Jisoo menghela nafas. "Aku harus merevisi naskahku. Novelku tidak jadi di terbitkan, editorku mengembalikan naskahku."
"Wae? Apa yang salah dengan naskahmu?" tanya Seokjin.
"Katanya, jalan ceritanya membosankan dan belum layak untuk diterbitkan," jawab Jisoo seraya sedikit mengerucutkan bibirnya. "Oppa, aku pusing. Aku harus menyelesaikan naskahku sampai minggu depan."
Seokjin terkekeh mendengar Jisoo yang berbicara dengan sedikit merengek. Seokjin juga bisa menebak ekspresi wajah Jisoo sekarang. Pasti menggemaskan, pikirnya.
"Kau butuh istirahat. Besok kan bisa dilanjut, jangan memaksakan diri," ucapnya penuh perhatian. "Jika kau terus memaksakan diri untuk menulis, tulisanmu pasti kurang maksimal. Kau harus menulis dalam keadaan sangat baik. Kau sendiri yang bilang begitu padaku bukan?"
Jisoo mengerjapkan matanya mendengar semua kata demi kata yang Seokjin ucapkan. "Ka-kau, masih mengingatnya rupanya."
"Oh, tentu saja. Ingatanku ini sangat bagus untuk mengingat semua yang pernah terjadi. Termasuk kejadian dimasa lalu yang masih sangat aku ingat." balas Seokjin seraya terkikik.
"Maksudmu kejadian apa?" tanya Jisoo.
Seokjin tersenyum penuh arti, seketika kejadian itu kembali terlintas di kepalanya.
"Kau ingat saat sore hari kita berdua di kejar anjing setelah pulang dari bioskop?" tanya Seokjin yang masih memasang senyum nakalnya.
Jisoo tertawa pelan. "Aku ingat. Kau yang melihat anjingnya duluan, kemudian menarik tanganku untuk berlari. Bahkan aku masih ingat ketika kau hampir tersungkur."
"Lalu, setelah itu?" Seokjin mengulum senyumnya dengan mata yang menatap lurus pada langit-langit kamarnya.
"Lalu setelah itu, kau menarikku ke sebuah gang yang sangat kecil untuk bersembunyi. Kemudian..." Jisoo menggantungkan ucapannya karena seketika ia sadar bagaimana cerita ini akan berlangsung. Seokjin benar-benar membuatnya kembali mengingat itu, membuatnya tersipu ketika mengingatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Long Distance Relationship
Fanfiction[COMPLETED] Kim Seokjin harus melanjutkan pendidikannya ke Australia dan terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, Kim Jisoo. Awalnya, Jisoo ragu untuk menjalani hubungan jarak jauh dengan Seokjin, ia tidak yakin jika dirinya mampu menjalani hubungan...