13 : 명성 (Prestige)

3.3K 423 49
                                    

Sejak satu jam yang lalu setelah sampai dirumah, Jisoo masih duduk di tepi kasur dan terdiam seraya meremas ponselnya. Sesekali ia menghidupkan ponselnya dan membuka ruang obrolannya dengan Seokjin. Sungguh, ia merasa ragu. Lebih tepatnya, Jisoo merasa sedikit gengsi untuk menghubungi Seokjin duluan setelah apa yang ia katakan beberapa hari lalu di telepon.

Jisoo merasa kesal, kenapa Seokjin tidak pernah menghubunginya lagi setelah pertengkaran kecilnya itu. Apakah dirinya terlalu berlebihan sehingga membuat Seokjin muak? Apakah Seokjin sudah menyerah dengan hubungannya? Pertanyaan-pertanyaan itu memenuhi kepalanya dan membuatnya pusing sendiri.

Sebesar dan sekecil apapun masalahnya, biasanya Seokjin yang selalu lebih dulu menghubunginya. Menjelaskan semuanya, menenangkannya dan membuat Jisoo kembali merasa lebih baik. Namum kali ini berbeda. Jisoo berasumsi jika Seokjin mulai lelah. Dan itu yang dirinya takutkan saat ini, Seokjin lelah dengan dirinya dan perlahan berubah lalu pergi meninggalkannya.

Andwae!

Jangan sampai hal itu terjadi.

Seharusnya ia tidak terlalu berlebihan. Hanya karena Seokjin bersenang-senang dengan teman-temannya tanpa mengabarinya, seharusnya Jisoo mendengar alasan Seokjin terlebih dahulu sebelum berasumsi negatif tentang Seokjin.

Ah, Jisoo benar-benar merasa pening. Saat itu yang ada dalam dirinya hanyalah ketakutan dan rasa khawatir. Jujur saja, saat itu ucapan-ucapan negatif tentang hubungan jarak jauh bermunculan sehingga ia tidak bisa mengendalikan dirinya dan membuat asumsi negatif pada kekasihnya sendiri.

Dan lagi, ucapan Seokjin yang membuat dirinya merasa tertampar oleh kenyataan. Kenyataan bahwa hidup Seokjin tidak selalu tentang dirinya. Hidup Seokjin tidak selalu tentang membahagiakan Jisoo.

Begitupun sebaliknya. Hidup Jisoo tidak hanya selalu tentang Seokjin.

Rupanya dirinya belum cukup dewasa untuk berpikir seperti ini. Huft.

Jisoo menghela nafas seraya menatap layar ponselnya yang menampilkan ruang obrolannya dengan Seokjin. Bersamaan dengan itu, pintu kamarnya terbuka, mendapati Jihyun yang masuk ke kamarnya tanpa permisi atau mengetuk pintu terlebih dulu. Jisoo memang sudah terbiasa dengan sikap Jihyun yang selalu seenaknya memasuki kamarnya.

"Ini punyamu bukan?" tanya Jihyun seraya menunjukan sebuah buku catatan berwarna kuning.

Jisoo sedikit terkejut karena kakaknya menemukan buku catatannya. Ia sempat menyerah karena mencari buku catatan tersebut yang sulit untuk di temukan.

"Bagaimana kau bisa menemukannya? Kau menemukannya dimana?" tanya Jisoo seraya menerima buku catatannya.

"Di pot bunga halaman belakang," jawabnya seraya duduk di sebelah Jisoo. Jihyun mendengus. "Ya, kau menganalisis tentang tumbuhan sampai buku catatanmu tertinggal disana?"

Jisoo terkekeh kecil. "Tidak. Aku hanya ingin mencatat di suasana tenang. Omong-omong, terima kasih eonni."

Jihyun hanya mengangguk menanggapinya. Lalu setelahnya ia menatap wajah Jisoo dan mencoba menebak raut wajahnya.

"Ada masalah?" tanya Jihyun.

Jisoo beralih menatap Jihyun dari semula menatap layar ponselnya. "A-aniyo, aku tidak apa-apa."

"Sudahlah, tidak perlu menyembunyikannya dariku. Ceritakan saja, siapa tau kakakmu ini bisa memberi solusi. Atau setidaknya, aku bisa menjadi pendengar yang baik jika tidak bisa memberimu solusi." ucap Jihyun seraya tersenyum.

Jisoo menatap Jihyun beberapa saat, lalu menghela nafas. "Entahlah, aku tidak yakin untuk menceritakannya."

"Tentang hubunganmu dengan Kim Seokjin?" tebak Jihyun.

Long Distance RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang