Rebutan

105 6 0
                                    

"Menyenangkan jika masalah dihidupmu pergi mengikuti hembusan angin"

🌈

Pukul 20.00 WIB.

Setelah berkunjung ke rumah Haidar, mereka langsung kembali menuju Jakarta.

"Om lo asik juga ya."

"Ya gitu. Terakhir gue kesana pas kelas 10, jadi Om Haidar mungkin excited pas gue dadakan kesana."

"Lo kenapa gak terima tawaran mereka buat tinggal di Bogor, Rin?"

Kembalilah ke topik sensitif tadi. Pasalnya, Haidar membahas itu di rumahnya. Ia tidak tega Arini tinggal sendirian di Jakarta tanpa asuhan orangtuanya sendiri. Jadi ia menawarkan hal itu.

"Mungkin abis lulus gue ke Bogor."

"Kuliah?"

"Iya."

Arini sebenarnya mau-mau saja. Tapi apa nanti kata Andra?

Trus rumah yang di Jakarta ditempatin siapa?

Itukan aset kakak, Arini..

Kamu gaboleh pindah kecuali ikut kakak ke Amrik!

Kayak bisa aja jauh dari kakak

Dan segudang jawaban lagi bisa Arini dapat nantinya.

Hening beberapa saat.
Arini tidak sadar kalau dirinya diperhatikan Arya sedari tadi.

'Dia mirip sama adek gue, sifatnya'

Arini membelalak saat melihat truk tronton di depan mobil Arya yang tersisa beberapa meter lagi.

"ARYA AWASSS!" Arini berteriak sambil menutup mata kuat-kuat.

Arya terkejut bukan main saat melihat truk. Kakinya menginjak rem mobil, sedangkan tangan kirinya ia gunakan untuk menahan tubuh Arini agar tidak maju kedepan.

Ccitttt

Suara ban mobil yang tergesek aspal membuat Arini enggan membuka mata. Ia tetap memejamkan mata sambil mulutnya komat-kamit wiridan. Sedangkan Arya masih syok walaupun tidak terjadi hal yang diinginkan. Untungnya mereka ada di lajur kiri jalan tol.

Saat Arini membuka mata, ia bersyukur dirinya tidak terlempar apalagi tertabrak kendaraan besar tadi. Ia juga baru ngeh saat tangan kiri Arya menahan tubuhnya.

"Lo gapapa, Rin?"

"Lo gapapa, Ar?"

Pertanyaan itu keluar serentak dari mulut mereka.

"Lo bener gapapa kan? Ada yang luka gak? Atau apa?" tanya Arya bertubi-tubi.

Ia menurunkan tangannya dan membuka kaca mobil untuk menghirup oksigen.

Arini menetralkan detak jantungnya yang masih tidak karuan karena terkejut, "Gue gapapa. Lo juga gapapa kan?"

Arya mengangguk pelan. Ini semua karena matanya sibuk memperhatikan Arini. Kalau sampai Arini kenapa-kenapa tadi, ia tidak akan memaafkan dirinya sendiri apalagi dapat maaf dari Dean, apalagi Andra. Bisa mampus.

"Lo kayaknya kurang istirahat. Kita bisa break dulu di pinggir jalan, Ar. Jangan dipaksain."

"Gue minta maaf, Rin."

"It's okay."

10 menit kemudian barulah mereka istirahat. Mobil diparkirkan sedangkan mereka makan di RM Padang.

Arya masih syok tentunya. Sedangkan Arini berusaha mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa.

"Lo bener gapapa kan, Rin?" Sudah 30 kali Arya mengatakan itu sepanjang jalan.

"Gue gapapa, Ar. Buktinya gue lagi makan sama lo sekarang." Arini tau apa yang dirasakan Arya saat ini.

"Makanya kalo nyetir tuh jangan ngelamun." Arini mulai mengeluarkan dalil-dalilnya.

Arya berdehem pertanda jawaban iya.

Setelah makan, mereka ke minimarket untuk membeli cemilan. Letaknya tak jauh dari rumah makan tadi, jalan kaki pun bisa dijangkau.

Arya mengambil satu botol sprite besar dan satu Aqua besar. Sedangkan Arini mengambil permen, chiki, dan coklat tentunya.

"Lo mau es krim gak, Ar?" Tawar Arini.

"Belinya yang mangkukan aja, barengan."

"Oke."

Arini pun ke meja kasir untuk membayar total belanjaannya.

"Semuanya seratus tiga puluh ribu rupiah, Kak," ucap kasir perempuan tersebut.

Saat Arini hendak memberi uangnya, Arya sudah menyodorkan ATM-nya ke kasir.

"Lho, Ar? Gue aja, kan lo seharian nyetir. Masa yang bayar juga lo," protes Arini.

"Pake ATM gue aja," tukas Arya.

"Gabisa lah, tadi yang bayar tiket masuk lo, yang bayar bensin juga lo, ini juga lo. Trus gue cuma numpang mobil doang?" Arini mengoceh panjang lebar.

Kasir itu hanya tersenyum kikuk melihat perdebatan didepannya.

"Arya, lo tunggu di mobil aja sana." Akhirnya Arini mengusir paksa Arya supaya ia yang membayar jajanan ini. Ia mendorong-dorong tubuh Arya yang masih kekeh di tempat.

"Lah? Ngusir nih bocah. Jangan mau, Mbak. Ini duitnya palsu. Nih pake ATM saya aja dijamin asli." Arya tak mau kalah.

Arini melotot tajam. Palsu? "Enak aja lo bilang duit gue palsu."

Kasir tersebut akhirnya mengambil ATM lalu menggeseknya. Lebih cepat transaksi, maka mereka akan menyelesaikan uang diluar. Begitu pikirnya.

"Terima kasih, Kak, atas kunjungannya. Semoga langgeng ya, jangan berantem terus," ujar Kasir tersebut.

Arini tidak berkomentar lagi. Arya pun acuh memasukkan kembali ATM-nya ke dompet.

Arya membawa plastik belanjaan menuju mobil meninggalkan Arini.

"Mbak, ada obat sangobion?" tanya Arini ketika Arya sudah keluar.

Arya yang tidak mendengar langkah Arini dibelakangnya langsung membalikkan badan.

Ia melihat Arini seperti selesai bertransaksi.
"Tuh anak belanja apaan lagi?"

Saat ia hendak masuk lagi, Arini lebih dulu keluar dengan langkah gedebak-gedebuk. Ia kesal seharian ini dengan Arya yang tidak memberinya kesempatan untuk mengeluarkan uang sedikitpun. Bukannya senang, justru ia merasa direpotkan. Sungguh.

Mereka duduk di pinggir trotoar sambil memakan 1 es krim mangkuk. Bersama ya.

"Lo kesel gegara gak bayar?" Pancing Arya.

"Iya!"

"Lo kalo mau bayar ke gue gapapa, tapi jangan pake duit."

Arini menoleh bingung, "Trus pake apaan?"

"Lo senyum sekarang, gue anggap lunas."

"Lah sinting..." Arini terkekeh mendengar penuturan Arya.

"Nah, LUNAS." Arya ikut tertawa puas.

"kok gitu?" Arini jadi tidak paham.

"Kan tadi gue bilang senyum. Tapi lo ketawa, ya lunas."

"Terserah lo deh, Ar. Gue capek mau cepet sampe rumah."

"Masuk mobil lah. Cepet."

"Iya ini juga mau masuk."

🌈

REVISI 30 MEI 2020
10.30 WIB

ARINI [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang