Kabur Dari Fakta

96 4 0
                                    

"Kalau memang mampu, perjuangkan. Kalau tidak, tinggalkan."-Arini-

🌈

Sudah lelah Yudha mencari keberadaan Arini yang berlari entah kemana arahnya.

Niat Yudha untuk memperkenalkan Arini dengan kedua orangtuanya jadi gagal total karena kedahuluan Ghina yang sudah ada disana.

*

Flashback on

"Kamu jangan gugup gitu."

"Ih, siapa juga yang gugup. Saya tuh cuma—"

"Evan! Ih, kamu tuh darimana aja sih? Ghina udah nunggu daritadi." Ibu dari Yudha -Tari- justru keluar bersama Ghina yang tampak tersenyum puas.

Arini mendongak menatap Yudha yang juga menatapnya namun hanya sebentar karena beralih ke orangtuanya. "Ma, tapi Evan— "

Arini melepas tautan tangannya. Senyum yang hendak ia tunjukkan, jadi ia urungkan. Melihat Ghina yang didiagnosis gila -eh tergila-gila oleh Yudha, Arini jadi tidak betah disini. Ahhh, sesal menyeruak di lubuk gadis itu.

Tapi seru juga kalau dibuat drama, menurut Arini. Ia pun menghampiri orangtuanya Yudha. "Assalamu'alaikum, Tante." sebisa mungkin ia tunjukkan sikapnya paling ramah mungkin.

Diluar dugaan Yudha, Arini justru bersikap manis. Sejak kapan gadis itu hendak beralih profesi dari akuntan ke aktris film?

Ibunya menerima uluran tangan gadis kecil untuk mencium punggung tangannya, "Wa'alaikumsalam.. ini siapa?"

"Nama saya Arini, Tante." Arini berusaha tersenyum walaupun terpaksa. Setelah ini ia akan mengubur atau memakan Yudha hidup-hidup.

"Sebentar, Ma. Ini ada salah pah—"

"Aduh, Tante, maaf ya, tadi saya dihubungi Mama katanya harus langsung ke rumah. Jadi les-nya ditunda."

"Les??"

"Iya, Tan. Saya pamit, maaf ganggu kalian. Permisi." Ia sudah begah sekali melihat wajah nenek lampir itu.

Begitu Arini berpapasan di samping Yudha, pria aneh itu menahan tangannya cukup erat sampai tidak bisa berontak sedikitpun.

Tari menyuruh Ghina untuk mendekati mereka. "Sini, nak."

Ghina dengan percaya dirinya mendekati mereka.

Arini sempat berbisik, "Saya mau pergi, Pak!"

Yudha tidak menjawab. Ghina yang melihat Yudha mencekal tangan Arini jadi kesal sendiri.

"Jadi gini, Van. Mama sudah mempersiapkan pertunangan kalian minggu depan."

Arini yang daritadi sibuk melepas cekalan Yudha langsung terhenyak. Dengan sekali kedipan mata, air matanya jatuh bersamaan. Apa sesakit ini mencintai orang yang dicintai orang lain? Batinnya.

"Evan, kamu nanti masuk ya. Kita makan siang sama-sama. Ayo, Ghina." Tari mengajak Ghina masuk ke dalam.

Tersisa Yudha dan Arini yang masih di pekarangan rumah.

"Udah cukup ya, Pak." Tegasnya menahan isakan.

Yudha melepas tangannya, "Ikut saya ke dalam sekarang."

Gadis itu tersenyum. Melihat senyuman itu, Yudha justru ingin membenturkan kepalanya ke dinding akibat rasa bersalah yang menjalar.

"Saya bisa pulang sendiri."

Lagi dan lagi Arini dihadang oleh Yudha seakan tidak boleh pulang sebelum ia menjelaskan pada orangtua siapa Arini di hidupnya.

"NGAPAIN SIH PAK!" Arini sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Biarkan saja untuk kali ini. Ia sedang malas memperebutkan sesuatu yang tidak pasti.

ARINI [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang