Dialpad

85 5 1
                                    

Gadis yang biasanya memasang raut tegas dan tatapan tajam kini berbaring miring dengan air mata yang terus berderai. Tak ada seorangpun yang bisa menghentikan tangisnya yang terdengar menyayat hati.

Hari berkabung penuh tangis sudah usai, namun tidak baginya. Ia enggan keluar kamar sampai sang senja hilang bergantian dengan rembulan.

"Lho.. aku kan bilangnya buat kamu, gak usah dikembalikan."

"Ih, gak ada. Saya bilangnya minjem."

"Kamu tuh ya, bawa aja sana. Aku bisa beli lagi."

"Gaya amat, worang kaya ye?"

"Se-truk juga aku mampu."

Disamping kepalanya terdapat dua ponsel yang ber-wallpaper sama. Ia menatap kedua layar ponsel tersebut sampai berkaca-kaca.

Arini yang tengah berkabung itu hanya bisa membisu dan memutar kejadian saat dulu.

Ia memencet aplikasi panggilan di salah satu ponsel dan menekan lama dialpad angka 1. Dan tak lama ponsel miliknya berdering nyaring sampai-sampai telinganya sakit.

Dalam pengaturan dialpad angka 1 itu untuk nomor ponselnya jika dalam keadaan darurat. Ia menyesal tidak mengangkat panggilan darurat 2 hari yang lalu secara terus-menerus.

Bagaimana ini bisa terjadi?

"Rin.. kamu belum makan dari kemarin, makan yuk." Kakaknya bahkan rela bolak-balik dari ruang tamu ke kamar adiknya sekedar mengingatkan makan. Andra tidak tega melihat adiknya meringkuk di atas kasur dengan air mata yang terus jatuh sampai bantalnya basah kuyup.

"Rin, kamu jangan kayak gini dong.. kakak gak kuat hidup juga kalo kamu sedih terus. Dia udah tenang."

Arini terisak, "Dia tenang disana. Tapi aku yang gak tenang, Kak."

"Ini udah jalannya. Kita gak bisa nunda kalau emang Allah mau ambil mereka."

Siapa mereka yang Andra maksud?

Arini enggan bergerak sedetikpun, "Ayah sama Frederic kenapa harus kembali dalam keadaan meninggal..." lirihnya kembali menangis.

Ia sangka, ia sangat membenci ayahnya karena sudah berpisah dengan ibunya.
Percakapan dengan Frederic 2 tahun lalu terus tergiang-giang.

Ia sangka, jika ayahnya meninggalkannya, maka hidupnya akan tenang.

Tapi ternyata tidak.

Justru dengan kehilangan mereka, Arini baru sadar, ia sudah berperilaku buruk dengan keduanya. Ia sudah melampaui batas sampai menolak permintaan ayahnya.

Yang ia sesali adalah, kenapa secepat ini?

Kepala Andra disandarkan ke pintu, "Makan ya? Dibawah udah banyak loh yang nunggu kamu." Ia terus mencoba semangat di depan Arini walaupun sebenarnya terlihat konyol.

Arini masih merenungkan satu hal. Tidak bisakah, orangtua kandungnya memberikan ia semangat sebelum Ujian Nasional nanti? Mereka pergi. Jhonson dan Frederic pergi, namun Faza tidak ikut ke pemakaman. Ada apa dengannya? Setidaknya Ibunya memeriksa keadaan mereka.

Andra menghela nafas kasar berulang kali. Ia kembali ke ruang makan dengan wajah lesu.

"Gimana, kak? Arini mau makan kan?" Alexa langsung beranjak melihat Andra turun.

Andra menggeleng sekaligus menghendikkan bahu lesu.

"Yahhh, biasanya Arini gak kuat gak makan 4 jam," gumamnya berdasarkan fakta.

ARINI [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang