Masih Ada Waktu

95 5 0
                                    

"Kalau tidak bisa membuatnya bahagia. Setidaknya jangan membuat Dia marah."

🌈

Desas-desus tentang Dimas seperti bom meledak. Tersebar dimana-mana bahkan para guru juga banyak yang tau. Langkah Dimas di sekolah rasanya lambat dan berat karena setiap lantai yang ia pijak, banyak siswa yang berbisik-bisik mengenai perilakunya.

"Oh itu ketosnya."

"Ga cocok sama sekali."

"Kali ini gue dukung Arini."

"Pantesan viral."

"Gue denger juga ga sopan sama kakel."

Dan masih banyak suara-suara yang tidak suka pada Dimas. Arini yang berdiri di depan kelas bersama Arya hanya bisa memandang dari kejauhan. Ia tau, bahwa ini berat untuk Dimas.

Dimas yang kebetulan diberi tugas mengembalikan buku ke perpustakaan tiba-tiba terjatuh karena dikerjai kakak kelas. Sepanjang koridor menertawakannya, Dimas merasa paling bodoh sekarang. Dimas mengangkat dagunya saat seseorang membantu mengambil buku-buku di lantai.

"Arini??" gumamnya.

Arini hanya mengambil setengahnya lantas ikut mendongak, "Apa?" Lalu ia memberikannya ke Dimas.

Dimas menggeleng pelan, "Soal kemarin gue minta maaf."

Arini hanya tersenyum tipis, "Gue bukan tipe yang suka jatuhin orang lain walaupun ada untungnya."

Dimas tidak mengerti.

"Lo masih ada kesempatan buat perbaiki semuanya." Setelah mengatakan itu Arini pergi. Rasanya kalau bicara lama dengan Dimas, ia akan kesal.

Akhirnya ia memutuskan kembali ke kelas saat jam istirahat pertama yang akan berlangsung 30 menit. Cukup lama, bukan? SMK Tunas Bhakti sengaja memberi waktu lebih lama di jam istirahat pertama atau kedua karena biasanya siswa-siswi belum sarapan maupun melaksanakan solat.

"Rin, gue mau ke lapangan basket, mau ikut?" Ucap Arya sambil membuka lokernya. Kebiasaan pria itu adalah olahraga saat jam istirahat pertama ataupun kedua jika tidak mood makan. Seringkali Arini melihat Arya membawa kaos oblong dari rumah kemudian ditaruh di loker untuk nanti digunakan.

"Gak, gue mau ke kantin sendiri," ucap Arini masih membaca buku tentang pajak.

"Gue boleh nitip gak roti gak? Nanti taroh aja di laci meja gue." Arya mulai membuka seragam putihnya.
"Jangan liat ke belakang!" Arya memperingati.

"Gak mau liat juga!" jawabnya kesal.

Barulah Arya memakai kaos putih dibalut seragam dengan kancing dibuka setengah.

"Roti satu ya?" Arya minta lagi.

"Iya ntar gue ke lapangan."

Arya memperhatikan Arini yang masih serius dengan bukunya. Ah, gadis itu memang pacaran dengan buku berisi angka karena setiap hari tidak lupa membawa buku-buku yang memusingkan. Berbanding terbalik dengan dirinya yang tak pernah membaca -jangankan membaca, membuka buku pun sekedar liat-liat gambarnya saat jenuh.

Arini menoleh ke belakang mendapati Arya melamun ke arahnya. "Ngapain lo masih disitu?"

"Lo gak mau nyemangatin gue gitu, Rin?" Arya senyam-senyum tidak jelas berharap Arini peka.

"Gak," singkatnya ikut tersenyum jengah.

"Sekali aja lah." Kali ini Arya memakai jurus kedipan-kedipan mata manja.

ARINI [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang