BAB 34

6.1K 258 13
                                    


Tidak ada yang bisa bintang lakukan selain hanya berbaring dan ikut menyaksikan apa yang ada di depan matanya.

Tubuh aldo yang berguncang dengan hebatnya. Mata bintang sedari tadi bertukar pandang dari alat Ekg untuk melihat detak jantung aldo dan dokter yang tengah memegang alat defibrilator dengan terus melekatkan nya pada tubuh aldo hingga tubuh lelaki itu lagi lagi naik ke atas dengan begitu cepat langsung terhempas kembali pada kasur brankar.

Dalam hati tak henti hentinya bintang berdo'a  di dalam posisinya yang amat teramat lemah itu. Bodohnya lagi bintang tidak bisa melakukan apapun ketika ia benar benar melihat keadaan aldo yang sangat kritis itu. Ia dan aldo satu ruangan dengan tangan bintang yang terus mengemgam erat tangan millik abangnya.

Mata bintang semakin mengabur ketika melihat salah satu perawat menyeka keringat seorang dokter dengan tisu bahwa dokter itu sudah kelelahan.

Menggeleng..?

Bintang salah liat kan ? Bintang salah liat kan kalok tadi dokter itu menggeleng kan kepalanya dengan raut putus asa.?

Enggak..!!

Bintang menggeleng lemah.

Matanya kian memberat, ingatannya kepada sebuah kisah yang pernah ia bagi pada Aldo.

Kisah nuada dan nuala..

Satu mati, maka yang satu juga akan ikut mati.

💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐💐

Satu tahun kemudian.....

Jein memperhatikan seorang wanita yang berada di depannya dengan gerakan yang begitu lincah tanpa lelahnya. Wanita itu mengambil salah contoh kertas berwarna merah maroon yang langsung di tunjukkan kepada jein.

Jein hanya mengaguk, mengiyakan apapun yang wanita itu inginkan.

Hingga akhirnya mereka telah memasuki salah satu toko tempat dimana mereka akan memesan begitu banyak souvernir yang akan di bagikan kelak.

" Yang bentuk kelinci ya ?"
Pintanya dengan raut wajah merayu jein.

Jein hanya mengaguk lagi, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menuruti apapun yang wanita itu minta. Ia tidak ingin berdebat dan berakhir dengan acara ngambek yang akan membuat waktu jein terbuang begitu banyak...tapi.

Mata jein menangkap salah satu benang yang di penuhi dengan bulatan bulatan kecil berwarna hitam.

Bukan gelang.

Tapi tasbi berisi tiga puluh tiga buah biji.

Di lapisi dengan kotak bening transparan.

Akan tampak biasa saja di mata orang lain. Namun siapa tahu di mata jein. Bintang sangat menyukai itu pasti, seharusnya ia memilih itu untu souvernir nya. Selain bermanfaat bagi orang lain untuk menanbung amalan baik, tasbih itu cukup membuat jein kembali mengingat cintanya yang memang tidak pernah ia lupakan.

" Gimana kalau tasbih aja ?"

Pertanyaan pertama yang jein lontarkan setelah hampir seharian mereka berjalan bersama.

" Kenapa ? Bukannya kamu udah sepakat kalau souvernir nya patung kelinci ?"

Niar membalikkan badannya untuk menghadap jein, ini pertama kalinya jein protes dengan pilihannya.

" Tapi ku pikir ini lebih bermanfaat untuk orang lain "

" Tapi ini lucu." Bantah niar.

Jein bisa apa selain diam ? Dis juga sadar bahwa perdebatan kecilnya dengan niar sang calon istri juga sudah mendapatkan perhatian dari seorang pedagang souvernir itu sendiri.

" Hem baiklah." Jein mengaguk demi menghindari keributan. " Aku nunggu di luar "

Tidak perlu menunggu tanggapan atau jawaban dari niar. Ia tidak membutuhkan itu untuk mengambil tindakannya.

Ia menyandarkan tubuhnya pada pintu mobil, menatap jauh ke arah langit yang berwarna biru cerah. Pikirannya kembali melayang dimana setelah tiga bulan kepergian bintang dan aldo.

Niar benar benar berjuang untuk mendapatkan hatinya, walaupun sampai sekarang wanita itu masih tidak memiliki ruang untuk di tempati di hatinya.

" Kita bisa mulai semuanya dari awal jein.." niar menarik salah satu tangan jein ke dalam genggamannya.

" Niar, tolong..."  Jein mencoba menarik tangannya dari genggamman tangan Niar.

" Apa yang bisa menghalangi langkah kita jein ? Status kita ? Hei..status kita sama jein, aku janda dan kamu duda. Justru akan terlihat lucu kalau kamu malah bersanding dengan gadis perawan. "

Jujur, jein merasa tidak suka dengan setiap kata yang di lontarkan oleh Niar, wanita itu  kurang pandai atau memang tidak menjaga sopan santun dalam memilih kata yang harus atau tidaknya keluar dari mulutnya.

Terlalu kasar bagi jein.

" Bukan masalah itu Niar !"  Gigi jein mengggelutuk geram. Ingin membalas setiap kata yang keluar dari mulut Niar, namun ia sadar yang di hadapan nya saat ini adalah seorang wanita.

Menyakiti seorang wanita sama saja seperti saja menyakiti ibunya sendiri.

Itulah sebabnya jein pantang menyakiti seorang wanita. Ia cukup sangat menyayangi dan menghormati mamanya.

" Hati ..?"  Niar tersenyum mengejek ketika mendapati ekspresi jein yany tiba tiba saja mengeruh. " Kamu aja bisa di bodohin kan sama mantan istri kamu itu yang jelas jelas kamu cintai. So kamu harus belajar masalalu. Seharusnya.." niar sengaja menekankan kata di akhir kalimat itu agar lelaki di hadapannya itu dapat sadar dengan sempurna.

Oke.. sungguh jein benar benar ingin marah dengan wanita di hadapan nya itu. Namun demi menghindari itu semua, jein dengan cepat bangkit dari duduknya, mengambil jas dokternya yang tersampir pada sandaran kursi. Ia berjalan menuju pintu keluar.

" Jein .?" Suara niar lagi lagi menghentikan langkahnya.

Jein memejamkan matanya, merasa muak dengan apa yang terjadi pada hidupnya.

" Oke Anniar. Kita akan menikah.."

Ketika itu pula jein benar benar menyadari bahwa hatinya sudah tidak baik baik saja.

Jein menghela napasnya dengan kasar. Dia merasa bodoh ketiak itu hanya karena emosi yang benar benar memenuhi isi kepalanya.

Seharusnya, ia dapat berpikir dengan jernih dahulu sebelum menyampaikan kalimat yang rasanya cukup buruk itu bagi hidupnya.

Jein dapat merasakan matanya yang berembun. Pikirannya malah membayangkan wajah bintang yang tengah tersenyum manis kepadanya.

Satu tahun setelah kepergian bintang dan aldo. Jein benar benar di pupuk oleh rasa rindu kepada perawatnya, perawat idaman bagi setiap orang.

Saya rindu kamu... bahkan saya tidak sempat untuk mengatakan kalau saya mencintai kamu..bintang akana.

Suara azan ashar menggema. Jein mengusap wajah dengan kasar, lalu kakinya melangkah ke arah masjid terdekat. Ia akan menunaikan sholat ashar dulu dan mengadukan segalanya kepada sang pencipta, semoga saja rasa rindunya tersampaikan kepada seseorang yang di rindukan, seseorang yang tak lagi berada di depan matanya.

To : Niar

Aku sholat ashar di masjid depan.
Kalau sudah selasai tunggu aja di mobil.

🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹🌹

Assalamualaikum

Jangan lupa kewajibannya terhadap Allah.

Salam dari ulan.

#saila 👍👍

perawat idaman ( Completed )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang