17. D-Day

4.6K 266 11
                                    

Setelah minggu tenang berakhir, kini saatnya Lita berjuang. Demi masa depannya, demi nilainya, ia harus belajar yang rajin. Sebenarnya, semenjak kuliah di universitas swasta, Lita seperti kehilangan semangatnya. Ia merasa begitu bodoh sehingga tidak diterima di universitas negeri. Tapi itu dulu, setelah rasa penyesalan yang membuatnya cukup down, akhirnya ia menyadari sesuatu. Bahwa belajar bisa dimana saja. Kecerdasan seseorang tidak ditentukan dari tempat yang ia gunakan untuk belajar, melainkan dari usaha, tekad dan kerja keras. Ia merasa beruntung, setidaknya, bahkan jauh lebih baik.. ia bisa menuntut ilmu setinggi mungkin. Tidak ada yang perlu disayangkan. Dimanapun tempatnya, sekalipun di tengah lautan sampah dan lumpur, berlian tetaplah berlian. Lebih baik menjadi berlian di lautan lumpur daripada menjadi batu cadas di tengah hamparan emas kan?

Lita menyiapkan segala keperluannya termasuk kartu ujian. Ia memasukkan semuanya ke dalam tas dan berjalan ke meja makan. Tadi ia tidak masak. Hanya memanggang roti dan membuat jus.

"Kak, aku berangkat dulu ya. Udah mau telat." Lita mencium tangan Ethan secepat kilat.

"Jangan ngebut, utamakan keselamatan."

"Ok sip." Lita mengendarai motornya dengan kecepatan sedang

Sampai di depan kelas, Lita duduk di depan Nina. Seperti biasanya, Nina sudah sampai sejak tadi dan sibuk menghafal teori yang akan diujiankan hari ini. Dan seperti biasa juga, Lita bingung mau ngapain. Gadis itu, tipe orang yang tidak bisa belajar di tempat ramai. Jadi kadang Lita malah mengajak Nina ngobrol sampai pengawas datang.

"Udah belajar?" tanya Nina.

"Udah dong." sahut Lita.

Ia sedang memainkan ponselnya. Menscroll aplikasi demi aplikasi supaya tidak bosan. Lalu beberapa saat kemudian, dua orang pengawas datang membuka pintu ruang ujian. Lita dan teman-temannya yang lain segera berdiri dan masuk ke dalam ruangan mereka.

***

Satu jam kemudian, Lita keluar. Wajahnya terlihat datar. Ia menatap Nina yang sudah keluar terlebih dahulu dan sedang menunggunya untuk berjalan ke parkiran motor bersama.

"Cepet banget." kata Lita.

"Lah iya, kalo udah nggak tau jawabannya ngapain aku lama-lama didalam." sahut Nina.

Lita sudah menduga hal ini.

"Mau makan nggak?" tanya Nina.

"Enggak deh. Mau balik, pusing." kata Lita.

Baru hari pertama rasanya sudah sepusing ini. Nina mengangguk. Ia menghampiri motornya, "oke, aku duluan kalo gitu." kata Nina.

Lita mengangguk. Ia mengendarai motornya keluar dari area kampus dan pulang ke rumahnya. Baru berjalan beberapa meter keluar dari gerbang kampus, ia distop Dimas. Lita menghela napas. Sial apa sial.

"Kak Dimas mau apa? Nggak ngoreksi ujian?" tanya Lita agak kesal.

"Udah." jawab Dimas santai.

"Ya udah, minggir." kata Lita.

"Ikut aku." Dimas menarik Lita ke arah mobilnya. Tumben sekali Dimas bawa mobil, batin Lita.

"Aku bawa motor." Lita bertahan di tempatnya.

"Aku suruh orang bawa motormu balik ke kampus." kata Dimas.

Ish, si gila, raung Lita dalam hati.

Ia ditarik Dimas lagi masuk ke dalam mobilnya. Pokoknya nanti kalau Dimas macam-macam padanya, ia akan lompat dari mobil. Bodo amat kalau dia mati, Dimas tidak akan tenang karena ia akan menghantui Dimas.

All My Heart [the END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang