35. Low Back Pain

3.9K 224 14
                                    

***

Senyum di wajah Serly tak jua luntur meski tubuhnya serasa hendak luluh lantak. Ia lelah, tapi bahagia. Di sampingnya, Dimas terlihat tenang. Tak tersenyum maupun tak cemberut. Setenang air, seperti Dimas yang biasanya.

Tadi sang kakak menceritakan bagaimana Dimas tiba-tiba datang pada mereka dan meminta izin padanya untuk menikahi Serly. Servan awalnya sudah gatel hendak memukul wajah Dimas yang kelewat santai dan tanpa beban.

"Sebenarnya anda tidak setujupun saya bakalan tetep nikahin dia. Karena ada anak saya di dalam perutnya." Jujur saja Servan tercengang mendengar penuturan Dimas yang apa adanya itu. Ia yang tadinya hendak memukul Dimas jadi hanya mengelus belakang lehernya.

Anak muda jaman sekarang bikin tepok jidat.

Mamanya, tak kalah ketus pada Dimas. Bahkan ia hendak mengusir Dimas tadinya. Menolak mentah-mentah begitu Dimas menyebut nama Serly.

"Saya akui, saya memang brengsek. Tapi sebentar lagi saya akan menjadi seorang ayah. Dan nggak ada sesuatu halpun yang bisa mengambil hak anak saya untuk mendapat perhatian seorang ayah. Saya nggak bisa ngasih contoh buruk untuk anak itu. Ngasih perhatian ke dia, tapi tanpa status yang jelas. Anda orang berpendidikan kan? Anda pasti tahu beban mental setiap orang berbeda, saya hanya tidak ingin anak saya mengalami kemalangan yang saya ciptakan sendiri."

Nyonya Stefanti merasa tercubit hatinya. Ia marah pada Serly. Jujur, daripada marah ia lebih merasa kecewa dan merasa gagal menjadi seorang ibu. Jika saja ia tidak memaksa Serly untuk memilih jalannya, Serly tidak akan jadi pembangkang seperti ini.

Menghela napas, Stefanti akhirnya berusaha melapangkan dada dan membuang segala rasa kekecewaannya pada Serly. Serly adalah putrinya, yang sudah ia kandung selama 9 bulan 10 hari. Setitik maupun beribu titik kesalahan yang Serly lakukan padanya tak akan bisa melunturkan kasih sayangnya yang sudah ia tanam pada Serly sejak ia masih berupa gumpalan darah. Kasih seorang ibu sepanjang masa, memang benar adanya.

"Dimas, kamu ngundang Lita?" tanya Serly begitu acara resepsi sudah selesai. Beruntungnya tidak sampai membuat wanita hamil itu pingsan karena kelelahan.

Dimas mengangguk, Serly mengerutkan alisnya.

"Gue juga nggak tau kenapa dia nggak datang. Mungkin dia masih marah sama gue." kata Dimas seakan sadar akan kerutan di dahi Serly.

Yang sebenarnya terjadi adalah...

Lita masih diam. Enggan bicara sama sekali dan membuat Ethan semakin kelimpungan. Bahu Lita bergetar, ia tak bisa menahan tangisnya lebih lama lagi dan menumpahkan semuanya seakan itu adalah satu-satunya cara agar sesak di dadanya menghilang.

Ethan yang melihat istrinya menangis tersedu-sedu pilu seperti itu hanya bisa menatapnya dengan tatapan hancur. Ia hancur melihat Lita sangat sedih seperti ini. Ia akui ia memang egois, tapi apa salahnya? Ia hanya merasa khawatir jika Lita bertemu Dimas lagi.

Lita bangkit berdiri, ia hendak meninggalkan Ethan. Namun segera berhenti kala dirasakan denyutan di kepalanya semakin terasa intens. Sakit. Ya salahnya sendiri karena menangis sepanjang hari seperti itu.

"Sayang.." Ethan dengan sigap beranjak dari duduknya dan memegangi pinggang Lita..

"Stop, jangan sakitin aku kayak gini, Ta. Okay, aku minta maaf.." ucap Ethan.

"Lepasin."

Ethan menghela napas. Kenapa sih dengan Lita? Apa Lita harus seperti ini hanya karena ia melarangnya ke nikahan Dimas?

"Kamu marah sama aku karena aku larang kamu ke nikahan Dimas?"

"Lebih dari itu."

"Aku ada salah sama kamu?"

All My Heart [the END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang