06. Cuddle is Super

5.8K 369 8
                                    

Hari Sabtu yang amat cerah, berakhir dengan suasana sendu karena langit berubah murung. Perlahan, rintik hujan turun dan membasahi dedaunan yang mulai mengering. Tanah-tanah kota yang coklat nampak mengeluarkan aroma khas, membuat tenang jiwa yang lelah.

Aspal panas terbakar, perlahan mulai terasa dingin. Lelah dengan keadaan, dan akhirnya menyerah dengan guyuran hujan lebat. Guyuran hujan pertama di bulan November.

Lita duduk di teras. Merasakan semilir udara mulai membelai kulit lengannya yang terekspos karena ia memakai daster tanpa lengan. Sejak dulu, ia suka memakai pakaian simple. Simple dan nyaman, daster pilihannya.

Sampai sekarang kebiasaannya menatap rintik hujan dan merasakan hembusan angin sejuk masih sering ia lakukan. Dari teras ini, Lita bisa melihat batu-batu hias di depan rumah mulai basar. Rumput jepang yang ditanam luas juga mulai segar. Keasyikannya dihentikan oleh Ethan saat pria itu membuka pintu rumah dalam keadaan muka bantal karena habis bangun tidur.

Mulai sekarang, di dunia barunya. Dunia yang hanya ada dirinya dan Ethan, Lita harus cepat terbiasa. Jika dulu ia masih bisa bertingkah manja dan cengeng, sekarang ia harus bisa meninggikan martabatnya dan menahan egonya. Begitu pikir Lita. Ia memang masih gadis kecil ayah. Tapi ia bukan lagi gadis kecil lajang yang bebas. Ia memiliki suami sekarang.

Dan entah kenapa ketika memikirkan hal ini, ada rasa senang dan sedih yang ia rasakan. Rasa senang yang ia rasakan karena bisa bersama Ethan, dan rasa sedih karena harus menikah secepat ini.

"Ngapain?" Ethan membuka suara.

Kadang Ethan khawatir kalau Lita sudah diam dan menyendiri. Ia takut kalau Lita jadi depresi gara-gara ia paksa menikah. Ia tak ingin membuat Lita stress karena pernikahan mereka, jadi sebisa mungkin Ethan akan berusaha menghibur Lita.

"Cuma lagi duduk." jawab Lita tidak bersemangat.

Ethan lalu duduk di kursi yang satunya. Ia melakukan hal yang sama, duduk dan menatap rintik hujan yang masih awet menetes dari langit.

"Kamu sedih?" tanya Ethan.

"Hah? Enggak kok." Lita buru-buru bersikap sewajarnya.

Sebenarnya kehadiran Ethan sangat mempengaruhi Lita, hanya saja Lita tak ingin terlalu menunjukkannya dan membuat suasana makin canggung. Ethan kan menikahinya bukan atas dasar cinta. Dan rasa sukanya pada Ethan juga mungkin hanya sekadar rasa kagum.

"Jujur aja, aku khawatir kalo gara-gara aku kamu jadi stress. Tapi maaf, kita nggak bisa mengakhiri pernikahan ini." kata Ethan terus terang.

Lita mengangguk.

"Aku tahu, tapi kalo kak Ethan nggak suka sama aku kan bukannya malah kak Ethan yang ngerasa nggak nyaman?" tanya Lita.

"Nggak kok, buktinya aku santai. Tapi kamu?"

"Coba tebak, gimana perasaan aku?" tantang Lita.

Ethan tak segera menjawab, Lita yang merasa malu karena mengatakan hal yang tidak-tidak segera berdiri dan masuk ke dalam rumah. Ia mencoba menyibukkan diri. Menyapu lantai, mengepel, lalu mencuci piring. Sampai rasanya badannya sakit semua karena kelelahan.

Sebenarnya, Ethan terus memikirkan perkataan Lita. Salah kalau Lita mengira bahwa dirinya tidak nyaman dengan Lita. Dirinya nyaman, bahkan cenderung senang. Sejak dulu entah kenapa Ethan merasa bahwa Lita ini unik dan patut untuk diperjuangkan.

Ethan merasa ada ketertarikan yang spesial pada Lita. Ia menyayangi Lita sejak dulu. Makanya ia merasa rindu kala harus bersekolah di luar kota.

Malam harinya, Lita sudah masak untuk makan malam. Ia masih sibuk menyetrika baju sebelum akhirnya makan malam. Ia hanya merasa belum siap untuk kembali berhadapan dengan Ethan.

All My Heart [the END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang