Sebuah elusan lembut menyentuh punggung Lisa. Gadis itu perlahan membuka matanya, melihat sosok Christian Yu alias Ian yang telah rapi dengan jas. "Morning." Sapa lelaki itu sambil mengecup puncak kepalanya. Lisa masih mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya matahari pagi. "Hari ini aku ada rapat terus ketemu sama anggota dewan."
"Kamu gimana?" Tanya Ian sambil mengusap pipi Lisa.
Yang ditanya malah mengulurkan tangannya dan memeluk pinggang Ian. "Sleep. Pemotretanku diundur minggu depan, jadi hari ini bisa santai."
Sekali lagi Ian menunduk untuk mengecup kening istrinya. "Pulang mau aku bawain apa?"
"Sate kambing sama sop kambing. Ya ampun abis itu siap-siap olahraga." Ucap Lisa masih memeluk pinggang Ian.
Ian tertawa, "okei. Aku pergi dulu kalo gitu. Istirahat ya."
Lisa mengangguk dan kembali membenamkan diri pada selimutnya. Hari ini dia akan tidur seharian. Akan tetapi, rencananya tak berjalan sempurna. Pukul dua siang dia sudah terbangun dan memakan sereal di depan televisi.
Saat sedang merenggangkan otot, bel apartemen berbunyi. Dengan malas Lisa melangkah hanya untuk mendapatkan tamparan di pipinya tepat ketika membuka pintu. "Masih juga kamu deketin Ian?" Lisa sudah hapal dengan suara Ibu dari Ian.
Perlahan ia mengusap pipinya, pedih. Di balik punggung Liliana--Ibu Ian--berdiri Jeslyn, istri dari Ian. Lisa menghela napas, "selamat siang juga, Ibu mertua." Sapa Lisa, sengaja agar membuat Lilian geram.
Sekali lagi ia mendapat tamparan di pipi. "Berhenti mendekati anak saya! Kamu gak malu jadi simpanan suami orang, hah?"
Mendengar itu kontan membuat Lisa tertawa geli. "Saya gak pernah mendekati Ian kok. Selama ini Ian yang selalu mendekati saya, bahkan setelah saya menjauhi dia berkali-kali. Sampai akhirnya," Lisa menunjukkan cincin di jari manisnya. "Kami menikah dan saya gak bisa melepas Ian."
Lisa melirik ke arah Jeslyn, dingin. "Bukan saya yang jadi simpanan. Saya lebih dulu menikah dengan Ian daripada menantu kesayangan Ibu. Bukan saya yang jadi simpanan atau perusak rumah tangga orang, tetapi Jeslyn."
Sekali lagi ia mendapatkan tamparan. "Jaga mulut kamu! Saya gak pernah merestui-"
"Dan apa yang sudah disatukan Tuhan tidak bisa dipisahkan manusia." Potong Lisa, lelah. "Kalau Ibu gak mau merestui, terserah. Toh kita pun selalu bersikap gak kenal. Jadi, tolong, berhenti datang, dan menyakiti saya. Saya gak pernah memohon untuk jadi menantu Ibu karena Ibu sudah memiliki satu."
Ia dapat melihat Liliana yang menahan amarah. Lisa kemudian menatap pada Jeslyn. "Kalian bisa bersikap seolah memiliki Ian saat di rumah utama, tetapi itu hanya sementara. Bagaimana pun, Ian pasti akan kembali pada ke saya."
"Kamu terlalu congkak." Kata Jeslyn akhirnya.
Lisa malah tertawa. "Kamu yang terlalu sombong dengan pikiran naif bahwa Ian bisa jadi milik kamu. Hanya karena kamu mendapat dukungan ibunya, bukan berarti kamu bisa memiliki anaknya. Ian tau mana yang harus dia pilih."
Ia kemudian mengeluarkan ponselnya. "Kalian mau pergi sendiri atau perlu saya panggil polisi? Kebetulan bisa sekalian visum." Jemarinya mulai menelusuri kontak di ponsel. "Sekalian saya mau ngehubungin pengacara saya. Gimana?"
Ke duanya masih bergeming, membuat Lisa mendekatkan ponsel ke bibir. "Ibu sendiri yang akan rugi. Image Ibu bakal rusak lho. Saya sih gak peduli soal image, toh pernikahan saya udah direstui ayah, sah secara hukum, dan agama. I have nothing to lose. Kalian gimana?"
Setelah itu Liliana menarik tangan Jeslyn. Membuat Lisa menutup pintu. Tubuhnya jatuh terduduk, bersandar pada pintu. Lisa, lelah. Akan tetapi, ia tak mau menyerah. Tidak pada Ian dan hubungan ini.
Cinta saja tak akan cukup jika harus mempertahankan hubungan ini. Kalau semua ini hanya berlandaskan cinta, Lisa pasti sudah menghilang dari hidup Ian. Dalam hubungan ini ada kepercayaan, kasih sayang, kepedulian, dan banyak hal lagi yang menjadi pilar. Untuk menghancurkan semua itu, Lisa tak bisa. Terutama jika di tengah pilar tersebut ada Ian yang akan hancur jika pilarnya rusak.
Saat Ian datang, satu-satunya yang Lisa lakukan adalah memeluk suaminya. Ian memeluknya, lebih erat dengan permintaan maaf yang dibisikkan dengan suara serak. Hubungan ke duanya tak mudah, bagai benang yang terlilit tanpa tahu cara memisahkan diri. Akan tetapi, tak ada satu pun yang ingin menyerah. Bukan hanya tentang sejauh mana mereka telah melangkah, tetapi seberapa banyak memori, dan emosi yang telah mereka bagi.
"Lisa, let's move out." Kata Ian masih memeluknya. "Kita pindah ke luar negeri. Kamu yang pilih."
Lisa menggeleng, "aku gak mau lari. Pasti ada jalan keluarnya. Mungkin bukan saat ini atau lusa, tetapi nanti. Gak apa Ian, aku masih bisa tahan."
"Sometimes you being too strong and stubborn for no reason."
Lisa mendongak dan tertawa, kemudian mengecup bibir suaminya. "I'm craving for sate."
Ian mengusap pipi Lisa begitu lembut dan mengecupnya kemudian. "Let's eat."
Di rumah ini terlalu banyak yang Lisa miliki dan Lisa sayangi untuk ia buang. Terlalu banyak yang menjadi alasan Lisa dan Ian bertahan. Hanya untuk beberapa alasan tak akan cukup membuat ke duanya saling melepaskan. Ian menyentuh tangan Lisa dan mengecupnya. "I love you my wife." Pernyataan Ian akan selalu sama sebab Lisa adalah istrinya. Tak peduli dunia berkata apa, Lisa adalah istrinya.
O-um
🥺🥺
-amel
KAMU SEDANG MEMBACA
potion
Fanfictionits not a love potion. •• book iv of lisa's blackpink oneshot.