Namanya Lisa, anak jurusan Ekonomi Bisnis jalur beasiswa. Akhir-akhir ini namanya melejit di grup khusus cewek-cewek yang suka julit. Alasan utamanya karena anak yang tiap hari bawa bekal dan naik kereta, minggu lalu datang ke kelas pagi menggunakan jam merk ternama. Itu lho, jam yang harganya sama dengan mobil keluaran terbaru. Alasan kedua karena hari itu, Lisa cuma pakai kaus hitam dan kemeja, juga jeans. Kakinya ditutup dengan sepatu kets yang umurnya pasti sudah tahunan.
Satu yang paling heboh di kelas itu adalah Rahel. Anak ini sudah biasa melihat jam mahal, tetapi yang Lisa pakai jelas berbeda. Baru semalam ia melihat berita tentang Xelor yang mengeluarkan edisi khusus dan hanya dijual lima pasang. Salah satunya ada di pergelangan tangan teman sekelasnya.
Rahel langsung mencolek Riana—temannya—yang sejak jam itu diumumkan mau launching sudah mengincarnya. "Damn, Lisa pake jam yang lo taksir itu "
Riana yang awalnya fokus memilih tas model baru langsung menoleh. Matanya memincing dan benar saja itu jam yang ia inginkan. Hatinya ingin menolak kenyataan, namun tentu saja barang bajakannya belum ada. Dari jaram sejauh ini saja Riana bisa memastikan itu barang asli.
"Gila. Duit dari mana dia bisa beli jam Xelor?" Balas Riana, tak terima.
Sebuah ide muncul di otak Rahel dan langsung berbisik. "Sugar daddy gak sih?"
Mata Riana melotot, itu alasan yang paling masuk akal. Dari tebakan tanpa fakta, jari Riana mengetik di kolom ruang obrolan grup khusus. Kemudian menyebar ke seluruh fakultas tanpa Lisa tahu.
Puncaknya hari ini Lisa yang sedang melangkah di koridor dijegat Dimo si anak Bisnis Internasional. "We, jam baru nih." Tangannya mengangkat pergelangan tangan Lisa yang langsung ditepis. "Mahal juga bayaran lo."
"Maksud lo apa?" Balas Lisa, dia tak tahu akar permasalahannya namun jelas niat Dimo tak baik. "Minggir, gue mau lewat."
Dimo menghalangi, "wet. Tar dulu lah. Kita ngobrol dulu."
Wajah Dimo mendekat, menyisir pipi hingga leher Lisa. "Pantes sih, mahal."
Lisa mencoba mendorong, namun tangannya langsung dicekal. Sampai akhirnya tangan lain menarik kupluk hoodie Dimo hingga jatuh. "Ngapain lo, bangsat?" Tanya Xukun, si tinggi berambut cokelat gelap.
Dimo berdiri, membersihkan celananya. Untung di koridor itu tak banyak orang sehingga mereka tak jadi tontonan. "Wei, ada Cai Xukun. Mau nawar juga?"
"Maksud lo apaan?" Balas Xukun, nadanya rendah dan menakutkan.
Lisa langsung menarik tangan Xukun, menjauh. "Udah gak usah didengerin. Ayo pergi aja."
Xukun menurut, tahu bahwa meladeni orang seperti ini hanya membuat emosi. Namun, Dimo tak jera. "Jangan monopoli lah, bro. Gue juga mau kali nyicipin."
Pegangan tangan Lisa terlepas dan Xukun berlari untuk menerjang Dimo. Pukulan dilayangkan, bertubi. Beberapa orang mulai berkumpul, hanya menonton membuat Lisa yang mati-matian menarik Xukuns kesal. "Ngapain sih cuma nonton? Bantuin dong pisahin!"
Seakan baru menyadari ada perkelahian, dua orang maju untuk menarik Xukun. Wajah Dimo sudah hancur. "Sekali lagi lo ngomong macem-macem soal Lisa, gue pasti bukan cuma muka lo yang ancur."
Dimo terbatuk, mengeluarkan darah dari mulut. "Brengsek. Lo pikir lo suci hah? Cuma gara-gara lo bayar dia lebih tinggi?"
"Maksud lo apa hah?" Sahut Xukun tak terima.
Dimo terkekeh. Beberapa orang memang tak tahu cara menutup mulut. "Iya, lo gak liat tuh tangannya. Mana ada anak beasiswa bisa beli jam Xelor? Makan aja dia bawa bekel. Itu mah udah pasti dia jual badannya."
Ah, jadi karena jam, pikir Lisa. Tatapan dan bisikan itu kini masuk akal. Tubuhnya terasa dingin dan kaku, reaksi itu dilihat oleh Xukun. Membuat matanya menatap dua orang di kanan-kirinya. "Lepas, atau lo berdua gue bikin kaya dia." Tangannya dilepaskan.
Xukun kembali mendekat, kali ini menginjak dada Dimo kencang. "Heh, kalo lo gak tau apa-apa mending diem. Ketauan begonya. Apa salahnya sih ngasih hadiah ke cewek gue?"
Lisa mendekat, sadar bahwa keadaan akan memburuk dan menarik Xukun menjauh. Orang-orang semakin berkerumun dan ia tak suka. Keduanya berhenti di dalam mobil Xukun dan belum ada yang membuka suara. Hanya Lisa yang meraih tangan kekasihnya dan mengobati dalam diam. Xukun menoleh, kaget saat merasakan titik air mata jatuh di punggung tangannya. "Kak, jangan nangis. Maaf. Maaf aku gak bisa nahan diri." Kata Xukun langsung menyentuh pipi Lisa.
Perempuan di hadapannya menggeleng. "Enggak. Kamu gak salah kok. Aku cuma gak suka aja liat kamu terluka gini. Maaf."
Xukun menggeleng dan memeluk tubuh kekasihnya. "Jangan minta maaf. Bukan salah Kakak."
"Kalau aku gak bilang mau rahasiain hubungan kita pasti gak akan kaya gini." Kata Lisa sambil menarik tangan Xukun untuk dipakaikan plester luka.
Xukun menggeleng. "Gak, Kakak 'kan mau ngerahasiain juga karena gak suka jadi omongan. Sekarang malah jadi omongan juga. Harusnya aku gak nembak Kakak ya?" Xukun langsung menatap Lisa dengan mata berkaca. "Tapi aku gak mau kalo bukan Kakak."
Lisa menggeleng, kali ini sebuah senyuman menghias wajahnya. Ia mengusap pipi Xukun lembut. "Aku juga gak mau kalau bukan kamu. Siapa lagi coba yang rela bantuin aku ambil pesanan kain kalau bukan kamu?"
Xukun langsung tersenyum, malu dan sombong. "Iya dong. Kalau yang lain pasti udah dimarahin sama Kakak."
Lisa mengangguk dan tertawa kecil. Xukun menoleh, tiba-tiba membuat alis Lisa naik. "Karena udah ketahuan mulai besok bisa berangkat sama pulang bareng dong?"
Di mata Lisa ia seakan melihat ekor Xukun mengibas, pertanda ia senang. "Iya, boleh."
Sekali lagi Xukun memeluknya. Xukun mungkin setahun lebih muda darinya dan tingkahnya jelas kekanakan. Namun, Lisa yakin bahwa lelaki ini mampu melindunginya dan har ini, untuk kesekian kali Xukun melakukannya.
😏🙊
-amel