Cantik, kaya, dan memiliki kekuasaan adalah tiga hal yang melekat pada diri Lalisa Kim. Di umur 28, dia sudah memiliki segala yang diimpikan seluruh perempuan--mungkin. Barang bermerek, perhiasan, mobil, rumah, dan bisa belanja tanpa memikirkan harga. Intinya, untuk seorang Lalisa uang bukan masalah besar.
Hanya, tumbuh di lingkungan kolot membuat segala prestasinya tertutup. Bagi keluarganya, semua hal yang Lalisa miliki tanpa suami adalah kegagalan. Padahal, sejak kuliah Lalisa mati-matian menyelamatkan perusahaan keluarga yang di ujung tombak. Tetap saja semuanya tak sempurna jika belum menikah.
"Ini Ji Chan Wook, lima tahun di atas kamu." Seoyeon, salah satu tantenya datang dengan menunjukkan foto seorang pria. "Dia saat ini sudah menjadi pemimpin J Corp. Tante sudah mengatur pertemuan kamu nanti malam, jadi kamu tinggal datang."
"Tante, aku gak ada niatan untuk menikah." Sela Lalisa, lelah. Dia baru saja kembali dari Hongkong dan disambut dengan acara perjodohan.
Seoyeon seakan tak mendengar dan mengusap pipi keponakannya lembut. "Sayang, coba dulu ya. Temuin aja dulu." Setelah itu, ia keluar dari kamar Lalisa, meninggalkan pemiliknya menghela napas.
Pada akhirnya Lalisa datang ke tempat janjian bersama Tuan Ji. Ia hanya menggunakan gaun biru polos dengan blazer hitam. Rambutnya dikuncir satu dan kakinya ditutup flatshoes.
Saat sampai, Tuan Ji sudah duduk di tempat yang telah dipesan. Rambutnya agak berantakan dan matanya ditutup kacamata berbingkai hitam. Pembawaannya terlihat kaku. Lalisa datang dan menunduk kecil. "Selamat malam, saya Lalisa."
Pria itu berdiri dan menunduk kecil. "Ah, halo. Saya Ji Chan Wook."
"Maaf karena saya terlambat." Ujar gadis itu sambil duduk. "Apa kamu lama menunggu?"
Chan Wook menggeleng. Lalisa meraih gelas berisi anggur merah miliknya, menggoyangkan gelasnya sedikit kemudian meminumnya perlahan. "Mari bicara langsung ke intinya." Kata Lalisa cepat dan menatap pria di hadapannya lurus.
"Saya tidak tertarik dengan pernikahan ini." Tegasnya.
Chan Wook menegang, kaget dengan tatapan tajam Lalisa. "Bukan soal kamu, tetapi siapapun itu, saya tidak tertarik. In short, saya tidak tertarik menikah untuk saat ini dan ke depannya."
Tak ada balasan, juga lanjutan dari Lalisa untuk beberapa waktu. Perempuan itu menghela napas. "Tapi karena ke depannya kita akan memiliki hubungan kerja, saya harap kita bisa menjadi rekan bisnis."
"That sound so lonely." Balas Chan Wook. Tanggapan itu membuat Lalisa menatapnya tajam dan ia buru-buru menambahi. "Saya gak tahu apa yang terjadi di masa lalu dan alasan kamu memilih itu. Akan tetapi, tadi saat kamu mengatakannya kamu terdengar kesepian."
Lalisa diam, tubuhnya terasa dingin. Rasanya seperti baru disiram air es. "Saya gak akan memaksa." Tambah Chan Wook setelah melihat perubahan di wajah Lalisa. "Tapi, kalau kamu ingin cerita, saya ada di sini."
"Apa yang kamu inginkan?" Matanya menilik Chan Wook, curiga.
Pria di hadapannya malah tertawa pelan, menaikkan kacamatanya. "Kepercayaan kamu." Katanya jujur. "Kalau saya bisa mendapatkan kepercayaan kamu, perlahan mungkin kamu bisa jatuh cinta sama saya."
Lalisa tahu, ia tak bisa mempercayai pria di hadapannya. Hanya, setidaknya jika ia bisa memilih, pria ini tak buruk juga. Ia mengangkat gelas di tangannya. "We will see."
Chan Wook melakukan hal yang sama sambil tersenyum. "Kamu gak akan menyesal."
Malam itu, ikatan di antara keduanya mulai terjalin.
He he he
-amel