#27 - Irama yang Tak Berima

12K 2K 657
                                    

Tuan Detritus 10K reads, aku lanjut publish chapter peka




Sesuai petunjuk Adis, Doyoung akhirnya menepikan motornya di pinggir jalan.

Meski jam menunjukkan pukul sebelas malam, namun jalanan di pinggir Astanaanyar ini masih ramai. Bahkan terlihat pedagang bakso dan nasi goreng yang memenuhi pinggir jalan.

"Motornya tinggalin aja di sini," ucap Adis setelah melepaskan helmnya. "Ayo ke dalem."

Doyoung mengerutkan kening, namun akhirnya ia menyadari ada sebuah gang di belakang tubuh gadis itu. Tanpa protes, cowok itu menyimpan helmnya di spion motor dan berjalan mengekori Adis.

Sepanjang gang, Doyoung hanya mendapati rumah-rumah yang sudah hening. Lampu-lampunya tampak redup, tersisa lampu teras yang menerangi gang setapak yang bahkan hanya bisa dilewati satu orang ini.

Gang ini bisa dibilang kumuh jika melihat bagaimana sampah berserakan di sisi-sisi gang dalam berbagai macam jenis keadaan. Tak jarang Doyoung menutup hidung karena bau menyengat dari got yang tersumbat dan menyebabkan genangan kotoran yang menumpuk.

Mereka berbelok, lalu tak jauh dari sana terlihat sebuah lapangan kecil dengan layar tancap dan beberapa orang yang sudah duduk manis di atas karpet rotan, lengkap dengan gelas corak loreng hijau yang amat legendaris.

"Selamat datang di bioskop nostalgia," seru Adis asal. Wajahnya tampak ceria sambil membentangkan tangannya menunjuk layar di depan.

Mata Doyoung tak bisa berkedip saking terpukaunya. Suasana hangat berkat lampu-lampu kecil temaram berwarna oranye, layar tancap yang tak pernah ia rasakan sejak dulu, juga senyum tulus gadis yang menggiringnya pada tempat ini.

Astaga, apa yang baru saja ia pikirkan?

Kini ia dan Adis memilih duduk di ujung karpet paling belakang. Begitu duduk, diam-diam Doyoung menggeser duduknya agar menempel dengan Adis yang tengah sibuk merapikan karpet yang mereka duduki.

Mata Doyoung memindai sekitar. "Namanya apa sih ini?"

Pertanyaan itu membuat mata Adis berbinar ceria. Ia terlihat sangat antusias. "Layar Tancap Grahita, artinya perasaan."

Lampu-lampu temaram di sekitar mereka perlahan meredup, menyisakan layar putih dan proyektor yang mulai menyala. Adis bertepuk tangan bersama yang lain lalu kembali menatap Doyoung. "Di sini cuma nyetel film restorasi tahun 50-an. Jangan harap bisa liat film berwarna."

"Gue belum pernah liat film restorasi," ujar Doyoung jujur.

"Berarti sekarang waktunya."

Di layar besar itu terpampang judul film, yakni Asrama Dara yang merupakan film tahun 1958. Awal film Doyoung harus menyipitkan matanya demi melihat dengan jelas film tersebut. Sampai akhirnya ia malah larut dalam cerita yang disuguhkan.

Kisah cinta para wanita dalam asrama, Suzanna muda yang cantik dengan suaranya yang indah, serta bagaimana keadaan Indonesia pada tahun itu.

Doyoung takjub, tapi ia lebih takjub lagi pada pemandangan di sampingnya. Bagaimana mata itu berbinar menatap layar, berkali-kali bilang "Doy, liat, itu Chitra Dewi yang main di Tiga Dara. Cantik ya?", dan ikut bernyanyi sepanjang film.

Tanpa sadar Doyoung menyangga dagunya dan malah memperhatikan Adis yang benar-benar tak terganggu sama sekali. Sepertinya gadis ini sangat suka menonton film jadul.

PEKA SENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang