#2 - Ketika Kau Mengekos

21.8K 3.6K 1.3K
                                        

Adis melirik Dejun yang tiba-tiba tertawa begitu melihat ponselnya. Agak curiga sebetulnya karena belakangan Dejun tidak terlalu aktif membalas pesannya. Kalau sekarang saja dikit-dikit cek hape, kenapa pesan Adis sering keteteran Dejun balas?

Daripada ngamuk sendiri, Adis memilih bungkam dan meng-scroll lini masa Instagramnya tanpa berkomentar...

Tunggu sebentar.

Adis menoleh. "Bales-balesan komen sama siapa di Instagram?"

"Ck, temen doang," sergah Dejun kelewat ketus.

"Tiga kasus sebelumnya kamu juga bilangnya gitu, kan?" timpal Adis. Entah kenapa ia jadi agak sensitif. "Kemarin pake panggilan sayang Mr. Bean Mrs. Bean, yang kedua digitarin, yang ketiga dianterin balik nggak peduli Gedebage-Padalarang, yang sekarang apa? Diajak wisata ke Zimbabwe?"

Dejun menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Ia memiringkan tubuhnya, menghadap Adis. "Kenapa sih kamu sukanya ngungkit-ngungkit masa lalu?! Apalagi yang soal ngegitarin. Kan aku udah bilang, aku cuma mau hibur dia aja karna habis putus!"

"Iya kamu CUMA ngegitarin dia. Dan aku CUMA tau kamu bisa gitar karena kejadian itu! Apa kamu pernah inisiatif gitu, ngirimin voice note kamu lagi main gitar buat hibur aku? Enggak, kan?!"

"Bocah banget sih!" bentak Dejun. "Cuma karna nggak digitarin aja ngamuk! Lebay tau nggak!"

"Bukan masalah digitarin, Dejun! Enak nggak kalo ada orang tiba-tiba chat, curhat bahagia habis digitarin kamu, dan dia kaget pas tau aku pacar kamu dan lebih lucunya lagi dia kaget karena aku nggak tau kamu bahkan bisa main gitar!"

"YA TERUS KAMU MAUNYA APA?! DIGITARIN?!"

Saking kerasnya bentakan Dejun, kuping Adis berdenging. Ini adalah pertama kalinya Dejun membentaknya begitu keras hingga rasanya jantung Adis tercekit. Adis mematung tanpa bisa menahan air matanya yang kini meluncur tanpa permisi di pipinya.

Bukannya simpati, Dejun mendesah kesal. Ia memukul kemudi lalu menatap Adis. "Udahlah, putus aja!"

Kali ini mata Adis membelalak. Tangannya langsung meraih lengan Dejun, "Aku pengen kamu jelasin, bukan kayak gini!"

"Aku capek!" pekik Dejun sambil menepis tangan Adis. "Pokoknya putus! Aku udah nggak ada rasa lagi sama kamu!"

Rasanya Adis sudah kehilangan akalnya. Ia menjerit dengan tangisan yang makin menggelegar. "Dejun, plis! Aku nggak mau kita punya masalah yang belum tuntas—"

"Nggak usah nangis!" bentak Dejun keras. "Kamu nangis kayak gini karna pengen dikasihanin, kan?! Biar pas keluar dari mobil semua orang simpatik sama kamu dan aku keliatan jahat?! Iya?!"

"Enggak gitu!"

"Udah, sekarang kamu keluar aja."

"Dejun—"

"Ya kamu keluar dulu!"

Dengan tangan gemetar, Adis menurut. Ia benar-benar kehilangan akal sehatnya dan memilih keluar dari mobil tanpa tahu bahwa Dejun sudah menancap gas dan langsung meninggalkannya di pinggir jalan yang jaraknya masih sekitar lima ratus meter dari kampusnya.

Tanpa peduli keadaan sekitar, Adis berjongkok dan menenggelamkan wajahnya di antara lipatan tangannya.

Adis hancur.

***

Doyoung mendongak saat seseorang berdiri di depannya.

"Punten," lirih orang tersebut.

Doyoung mengangguk dan bergeser sedikit. Ia baru sadar kalau tubuhnya menghalangi pintu masuk ke ruang pendaftaran workshop. Tapi dengan muka datar, Doyoung kembali menunduk dan fokus pada ponselnya.

PEKA SENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang