#35 - Rintik Riuh Jogja

12.6K 2K 771
                                        

Tau kan ya aku mau promosi apa 😭😭😭 iya iya yang tuan tuan itu. baca ya 😭











"Masalahnya kita nggak tau goals apa yang dipengenin pengurus PEFT di projek ini," cetus Lukas sambil mengusak rambutnya.

Mark menggeleng. "Gue rasa ini udah bukan tentang pengurus dan isinya deh, lebih ke PEFT-nya itu sendiri. Maksudnya, kita ke sini buat screening dan diskusi bareng anak Barasukma."

"Gue paham maksud lo," sahut Winwin yang sedari tadi mencatat hal-hal di dalam diskusi tersebut. "Ini bukan buat mereka, tapi lebih ke kontribusi kita untuk ngangkat nama PEFT."

Doyoung manggut-manggut, mencoba mengolah sesuatu di dalam otaknya sebelum akhirnya ia berujar, "Gue tiba-tiba keinget lagunya Ardhito yang 925."

Semua langsung menatap Doyoung.

Sejenak Doyoung terdiam. "Y-ya maksud gue... tentang sebuah pekerjaan yang monoton, masuk jam sembilan pulang jam lima."

Mark mengeluarkan buku catatan kecil yang selalu ia simpan di saku jaketnya. Ia lalu memandang Doyoung serius. "Kepikiran premisnya nggak?"

"Premis ya..." Doyoung berpikir sejenak. "Seorang pria yang sudah lelah dengan pekerjaannya tapi masih ada seseorang yang butuh dia."

"Butuh secara finansial?"

Doyoung mengangguk. "Tapi bisa juga kayak orang yang menikmati waktu kerja dia sampe lupa kalo ada yang nungguin waktu luang dia."

"Gue suka tuh yang kedua," sahut Jungwoo sambil duduk di bangku bus sebelah Adis. "Gimana kalo kayak orang yang udah terbiasa sama kemonotonan hidup dia trus seseorang bawa dia liat warna baru dan dunia baru gitu."

"Nah itu bagus," angguk Winwin menyetujui usulan Jungwoo. "Cuma, orangnya ini bener-bener orang yang dia baru kenal atau emang orang yang nungguin dia gitu? Pacar, misalnya?"

"Tergantung esensi yang mau kita tunjukin sih," balas Mark yang masih menyatat poin-poin diskusi ini. "Bisa aja kan pacar si yang kerja ini ngerasa pacarnya emang butuh hal baru biar nggak mulu monoton, tapi bisa juga karakter utama sendiri yang realize dia terlalu monoton dan dalam pencarian warna barunya, dia nemu orang baru."

Lukas mengangguk kecil. "Gue udah kebayang sih kita bakal ngambil montage pas dia kerja. Eh, bentar, ini pemerannya cewek apa cowok?"

"Ya kalo berdasarkan lagunya sih cowok." Mark melingkari poin penting dalam catatannya. "Gue bisa handle plot bareng penas. Tapi jangan lupa soal lokasi."

"Ya udah, sutradara Mark. Penas Adis lagi?" tanya Jungwoo.

Adis mengangguk. "Boleh."

"Kantor mah bisa set di tempat kita tidur nanti," ujar Echan yang tengah mengotak-atik kameranya. "Ini permasalahannya kita mau realistis apa idealis aja nih? Pemerannya gimana? Trus izin lokasi gimana?"

"Pemeran bisa dua orang dari kita aja," timpal Adis. "Naskah bisa gue ketik sekarang plus dialognya asal karakter sama motif tiap adegannya jelas aja. Entar cari aja lokasi yang bisa fit ke naskah."

Echan melirik Adis. "Boleh idealis, tapi sadar sikon lah, Dis."

Kening Adis mengerut. "Maksudnya?"

"Ya kita nggak bisa buang-buang waktu buat nyesuain lokasi sama naskah dong."

"Lo mau ngambil apa kalo nggak ada naskahnya?"

"Naskah dadakan aja lah atur-atur di lokasi, mending elo urusin surat izin lokasi aja."

"Ya nggak bisa gitu dong, Chan." Seketika nada bicara Adis agak naik. "Naskah tuh landasan semuanya. Nggak mungkin juga kita ngawang-ngawang ngerjain kan, asal ambil gambar sama dialog?"

PEKA SENITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang