Tak ada dari Ageu maupun Johnny yang membuka suara.
Keduanya terdiam di dalam mobil. Meski gerbang kosan Ageu berada tepat di samping mobil, Ageu memilih menyender tanpa berniat melepaskan sabuk pengamannya. Tangannya kini meraih rokok di dashboard mobil Johnny dan mulai menyalakannya.
"Lo mending pindah kosan," ujar Johnny seraya mengambil sebatang rokok dan menyalakannya. "Lo tau kan mulut Bian tuh nggak pernah bisa jaga rahasia?"
"Peduli apa gue." Ageu mengisap rokoknya kuat dan mengembuskannya ke luar jendela mobil. "Mo berita gue nyampe media juga nggak masalah."
"Lo apa nggak mikirin adik-adik lo, Geu? Ini taun pertama Frisca di SMA, Kiel bentar lagi lulus SD—"
"Trus gue harus sampe kapan kayak gini?!"
Ageu melempar puntung rokoknya sembarangan yang sialnya mengenai lengan Johnny. Tapi cowok itu tak memedulikannya. Ia memilih meraih puntung itu dan membuangnya keluar.
Kali ini dia diam saat melihat Ageu yang mulai menangis. Cewek itu mengangkat kedua kakinya dan menenggelamkan kepala di antara lututnya.
Melihat Ageu yang sedang dalam kondisi terpuruk, Johnny memilih turun dari mobil. Setengah jam kemudian ia kembali ke dalam mobil sambil menenteng tas Ageu yang menggembung. "Lo pulang ke rumah."
Sekonyong-konyong Ageu mengangkat kepalanya. "Bulan lalu gue udah pulang!"
"Sekarang elo tenangin dulu diri lo. Udah, mending elo di rumah Enin, dibanding di sini denger yang enggak-enggak."
(Enin, dari kata nini yang artinya nenek.)Johnny menyimpan tas itu di bangku belakang dan melajukan mobilnya menuju rumah Enin.
Rumah minimalis yang jauh berbeda dari rumah keluarga besar Ganendra yang berada di pusat kota. Tempat yang menjadi pelarian Ageu setiap bulan saat dirinya sedang lelah atau butuh waktu menyendiri. Tak akan ada gosip, media, tetangga, dan orang-orang yang akan menyudutkan cewek itu di sini.
Setidaknya sampai detik ini.
Rumah ini masih tampak rapi, sama seperti setiap kali Johnny berkunjung atau diam-diam memarkirkan mobilnya di depan rumah seperti waktu itu. Taman kecil itu terlihat terawat dengan tanaman hijau yang menghiasi bagian depan teras rumah. Juga pancuran kecil yang menimbulkan gemercik air, memberikan kesan segar dan damai setiap kali menghabiskan waktu petang di kursi teras dengan secangkir kopi.
Benar-benar rumah impian.
Enin keluar dengan senyum. Di usia senjanya, pendengarannya masih sangat baik hingga dapat mengenali suara mobil Johnny. "Lho, udah pulang lagi? Kan baru juga akhir bulan ke sini?"
"Kangen Enin," jawab Ageu sambil tersenyum.
Johnny langsung menghampiri Enin dan mencium tangannya. "Johnny langsung pamit ya, Nin."
"Lho?" Enin menepuk-nepuk lengan Johnny. "Ini mau Enin bikinin kopi. Duduk dulu sebentar!"
"Johnny masih harus ngurusin acara di kampus, Nin."
Enin meraih tangan Johnny dan mengelusnya pelan. "Ya udah, Enin tinggal dulu ya? Tadi lagi ngangetin sayur."
"Iya, Nin."
Begitu Enin masuk ke dalam rumah, Ageu buru-buru berdiri di depan Johnny.
"Lo nggak beneran nyari kosan baru, kan?"
"Kalo nggak gini kan elo batu," ucapnya ketus. "Gue kabarin kalo udah nemu kosannya. Besok gue jemput."
Ageu memutar matanya. "Nggak perlu pin—"
KAMU SEDANG MEMBACA
PEKA SENI
FanficKatanya, seni itu gila. Masa? "Meong," ucap Kokom antusias. "Meong meong meong meeeeong." "Udah gila." ------------- Doyoung itu cuma anak 18 tahun yang baru lulus SMA, punya pacar, dan baru ngerasakan hidup ngekos. Tapi, setelah ngampus di kampus s...