Tepat jam sepuluh malam Doyoung menginjakkan kaki di area sekolahnya dulu.
Berbekal izin dari penjaga sekolah yang tinggal tepat di samping gerbang dan sedikit drama serta air mata akhirnya Doyoung bisa memasuki tempat ini.
Lucu rasanya saat mengingat bagaimana orang-orang menghindari tempat ini dengan segala kisah tentang kejadian mistis pada malam hari, ia justru datang dengan suka rela. Entahlah, mungkin sebentar lagi ia akan disatroni penghuni sini—atau yang paling nyata, disatroni nyamuk.
Ia menggunakan cahaya dari ponselnya. Walau tak begitu terang, tapi itu cukup untuk menuntunnya melintasi lorong-lorong sekolah yang senyap tanpa tanda-tanda kehidupan. Hingga akhirnya ia keluar dari lorong gelap itu dan dihadapkan pada lapangan sekolahnya yang cukup luas.
Ia melangkah, mendekati titik tengah lapangan sekolahnya lalu duduk sambil memeluk lututnya. Matanya memandang gedung-gedung menyeramkan di sekelilingnya dengan sendu.
Salah satu atensinya berpusat pada balkon di depan kelas 11 IPS 3.
Dulu, tempat itu jadi tempat favoritnya dengan Rara untuk menghabiskan sisa waktu istirahat setelah keduanya menghabiskan bekal masing-masing. Kadang hanya mengobrol, tapi lebih sering dihabiskan menonton anak-anak yang sedang bermain bola dilapangan. Tak jarang juga keduanya malah seperti suporter bola untuk teman-temannya.
Matanya berpindah, memandangi ruang kesenian yang menjadi tempat latihannya bersama anak padus. Meski tertutup, ia bisa mengingat dengan jelas posisi piano, angklung, alat-alat musik lain, dan tempat favorit Rara saat menemaninya melatih vokal.
Rara memang melakukan kesalahan, tapi ia tidak bisa berbohong akan dua tahun yang ia lalui bersama gadis itu. Ia bahagia. Ia mencintai gadis itu. Ia benar-benar bersyukur bisa mengenal dan menggandeng tangan gadis cantik itu ke mana pun.
Mau bagaimanapun, ia tetap merasa kehilangan.
Sepi di sekitarnya tak bisa mengalahkan rasa hampa yang kini tengah melandanya. Ia nyaris merasa tak hidup kala kepingan adegan demi adegan tentang kisahnya kembali berputar. Senyum Rara saat Doyoung menembaknya di ruang musik sambil memainkan piano, cebikkan Rara saat cewek itu merajuk, bahkan tatapan kagum orang-orang kala mendapati gadisnya berjalan dengan gaun terbaik di malam prom dan berdansa dengannya. Hanya dengannya.
Ia tak menyesali keputusannya.
Ia hanya sedih.
Tak ada yang tidak menyedihkan dari sebuah perpisahan sekalipun dari seseorang yang tengah dibenci.
Setidaknya, dulu mereka saling mencintai.
Dan kini kosongnya akan tetap ada, tetap nyata.
Kosong yang membuat Doyoung terisak sambil menyembunyikan wajahnya di kedua lututnya.
Ia hancur.
***
Jam setengah lima pagi Doyoung sampai di depan kosan.
Orang pertama yang menyadari kedatangannya adalah Kyuhyun. Pemilik kosan itu sedang duduk di kursi teras rumah dengan segelas kopi di meja kecil di sampingnya.
Seketika Kyuhyun bangkit. "Ari kamu dari mana aja? Akang khawatir, dari kemarin diteleponin sama Akang nggak diangkat."
Doyoung hanya menyengir kecil. "Lupa nyalain notifikasi, Kang. Maaf."
"Iya nggak apa-apa. Sok itu ada perkedel dari Teh Asri."
"Iya, Kang."
Meski begitu, Doyoung tak berniat sedikit pun untuk mengisi perutnya yang telah lama kosong. Kakinya melangkah gontai menaiki anak tangga. Ia benar-benar lelah.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEKA SENI
FanficKatanya, seni itu gila. Masa? "Meong," ucap Kokom antusias. "Meong meong meong meeeeong." "Udah gila." ------------- Doyoung itu cuma anak 18 tahun yang baru lulus SMA, punya pacar, dan baru ngerasakan hidup ngekos. Tapi, setelah ngampus di kampus s...