Kelompok kedua adalah kelompok Winwin dan Jungwoo. Dari dalam tenda peleton, Doyoung dan yang lain bisa mendengar suara lodong dan teriakan para Mahakaali. Padahal mereka tahu betul sejauh apa lokasi tenda peleton dari tempat sweeping, tapi suara itu terdengar menggema dalam gunung yang sunyi siang ini.
Sekitar empat puluh menit kemudian, Winwin dan kelompoknya masuk ke dalam peleton. Wajah mereka penuh dengan lumpur, belepotan hingga hampir menutupi seluruh permukaan kulit mereka. Namun bukannya mempermasalahkan wajahnya, Winwin langsung berlari menuju Doyoung dan yang lain.
"Tadi kata Mahakaali ada wejangan buat kita," terangnya. "Tapi katanya cuma kelompok kalian doang yang dikasih."
Doyoung mengangguk. "Kita disuruh nyampein ke kelompok lain."
"Kelompok di peleton sebelah gimana?" tanya Jungwoo seraya melepaskan kaus kakinya yang basah. "Barusan Parvati gue bilang kalo di luar peleton, kita nggak boleh adain diskusi bahkan percakapan."
Mark membuka catatannya lalu duduk. Seolah mengerti, yang lain langsung duduk melingkar, membuka forum diskusi di dalam tenda peleton.
"Gue yakin banget ini adalah kode untuk acara di rangkaian ini," cetus Mark. Keningnya mengerut, memaksa kepalanya untuk memecahkan misteri kata-kata Johnny tadi.
Doyoung membuka buku catatannya juga. "Kecil kemungkinan kita bisa satu peleton sama kelompok di peleton sebelah." Ia mengangkat wajahnya, membuat yang lain otomatis menatapnya. "Oke, sebut aja ini Peleton A dan yang di sebelah kita adalah Peleton B. Satu angkatan kita ada delapan kelompok. Kemungkinan, empat kelompok di sini dan empat sisanya di Peleton B. Kalau kita liat sekarang, peleton ini nggak akan muat kalo semua peserta gabung. Jadi, udah pasti ini dirancang buat kita bikin strategi ngasih tau Peleton B soal wejangan ini."
"Morse!"
Kini semua menatap Jahe yang berujar lantang. Ia memajukan wajahnya. "Kita pake sandi morse bendera aja kalo misal kita disuruh kumpul!"
Echan terdiam. Otaknya mengawang dan membayangkan adegan ketika mereka disuruh kumpul di halaman depan peleton, Jahe dengan polosnya berlari sekebut-kebutnya lalu melakukan sandi morse bendera di depan Mahakaali dan Parvati.
Konyol.
"Ide bagus sih, walau tetep aja kerasa tolol kalo si Jahe yang ngomong," celetuk Echan tak peduli.
Adis mengambil alih buku dan pulpen Doyoung dari tangan cowok itu. Doyoung tidak protes. Ia justru bergeser mendekat ke sebelah Adis lalu menaruh dagunya di bahu cewek itu.
"Kita nggak mungkin ngasih kode sepanjang ini," ucap Adis, tidak sadar kepala Doyoung bertengger di pundaknya. "Gue rasa kita harus rangkum hal ini jadi beberapa poin baru kita kasih kode ini ke penghuni Peleton B."
Mark mengangguk. "Bener."
Dia datang saat kelabu.
"Saat kelaku ya?" Hendery mengangguk kecil. "Kayaknya ini ngarah ke magrib atau malem nggak sih?"
"Gue setuju," sahut Doyoung.
Sadar ada suara di sampingnya, Adis menoleh, membuat wajahnya dan wajah Doyoung hanya berjarak lima senti.
Seketika Doyoung terjerembap ke belakang begitu Adis menoyornya sekuat tenaga. "Napas lo bau, sial!"
"Kudis galak!" gerutu Doyoung sambil kembali duduk di sebelah Adis.
"Oke," Mark memilih tidak acuh pada pasutri di depannya, "lanjut ke bait kedua."
Memaksa sepatu menapaki semesta.
"Kita disuruh jalan kaki!"
Semua langsung memandangi Yangyang, tak terkecuali Jahe yang menatap cowok itu tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
PEKA SENI
FanficKatanya, seni itu gila. Masa? "Meong," ucap Kokom antusias. "Meong meong meong meeeeong." "Udah gila." ------------- Doyoung itu cuma anak 18 tahun yang baru lulus SMA, punya pacar, dan baru ngerasakan hidup ngekos. Tapi, setelah ngampus di kampus s...