Chp #8

3.9K 303 24
                                    



Byurrrr

"Bangun anak malas!" bentak Hendra. Tubuh kecil itu menggigil seketika saat satu ember penuh air dingin Hendra tumpahkan kedirinya yang masih terlelap dibalik selimut tipis.

Bibirnya bergetar, tubuhnya terkesiap berubah posisi menjadi duduk dan memeluk lututnya. Hawa dingin dari semalam saja belum hilang rasanya, kini harus bertambah dingin akibat air yang baru saja Hendra siramkan padanya.

Giginya bergemelatuk kedinginan ditempatnya. Sedangkan sang yang lebih tua hanya berkacak pinggang setelah keras melempar ember yang ia gunakan untuk menampung air dingin tadi. Itu air hujan semalam yang Hendra tampung diember dan tanpa berfikir dua kali, Hendra membawanya dan menumpahkan isinya pada bocah 14 tahun itu.

"Bangun! Kerja! Siapa suruh enak-enakan tidur!?"

"Ananta... shh... sakit, Pak," suaranya parau. Giginya bertautan menahan rintih kedinginan. Hendra tak menghiraukannya. Baginya melihat anak itu kesakitan menjadi pelampiasan rasa sesak yang ia pendam bertahun-tahun. Puas tidak ada tolak ukurnya untuk Hendra. Pasalnya ia tidak memiliki kepuasan untuk terus menyiksa anak yang telah merenggut kehidupannya.

"Banyak alasan! Bangun!" Hendra menarik paksa lengan tangan kecil Ananta. Menyeretnya kasar keluar kamar dengan keadaan sudah basah kuyup.

Ananta tergopoh menyamai langkah besar Hendra yang menyeretnya kasar. Dan detik berikutnya tubuh kecilnya terhempas keras diatas ubin ruang tamu rumahnya.

"Pergi! Cari uang yang banyak!" Hendra menunjuk pintu utama yang sedari tadi ia biarkan terbuka begitu saja. Membiarkan angin yang masih berselimut embun masuk kedalam rumah yang sudah terasa dingin menjadi makin dingin saja.

Tubuh Ananta meringkuk seperti janin diatas ubin dingin, memeluk tubuhnya sendiri, mencari kehangatan. Sayangnya dingin menjalar keseluruh tubuhnya. Sampai rasanya organ dalam tubuhnya ikut membeku karnanya.

Hendra yang melihat Ananta tak berniat bangkit dari atas ubin, berjalan tegap kearah anak itu. Tangannya terulur menyentuh dahi Ananta yang terasa amat panas. Tapi detik berikutnya jari-jarinya malah meremat rambut milik Ananta. Membuat sang empunya makin meringis dan menangis pada akhirnya.

"Dasar pemalas! Pergi saya bilang! Cari uang!"

"An-nanta... sa-kitttt, Pakk. Dinginnnn..." ucapnya terbata-bata. Mata sayunya beradu berani dengan milik Hendra. Meminta belas kasihan barang sedikit.

Rasa iba memang menyeruak dibatin Hendra tapi sekali lagi ego nya mengalahkan semuanya. Bukankah pelakon antagonis memang tak memiliki hati. Hendra harus seperti itu. Dia tidak boleh luluh hanya karna air mata dan rintihan lemah bocah ini.

"Bangun!" Hendra menarik rambut Ananta dan memaksanya untuk bangkit. Meski kaki lemasnya tak berdaya, Ananta mati-matian bertahan untuk tetap menuruti segala perintah paksa Hendra.

Tangan besarnya beralih menarik lengan tangan pucat Ananta. Membawa bocah itu keluar dan melemparnya begitu saja dari depan pintu tempatnya berdiri.

"Pergi! Cari uang, dan jangan kembali tanpa membawa uang!"

Hendra menarik pintu utama rumah nya dan menutupnya secara kasar. Membiarkan Ananta kedinginan diluar yang bahkan meganya masih sedikit gelap meski remang mulai muncul dari ufuk timur.

Perlahan, setelah berusaha kembali kuat Ananta bangkit dari luruhnya. Menyeret kakinya menjauh dari rumah. Sedang dari jendela rumahnya, Hendra masih mengawasi Ananta yang berjalan tertatih. Beberapa kali terhuyung sembari memegangi kepalanya.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang