Chp #9

3.7K 294 34
                                    

Part 9

Terik matahari begitu gagah menguasai seisi bumi. Bercampur debu dan juga bising yang mendominasi. Sampai hampir sore hari barang bekas yang ia peroleh masih saja sedikit.Sebenarnya jika semuanya terkumpul jelas Ananta sudah bisa membawanya kepengepul tadi siang, tapi memang takdir tak memihak baik kepadanya.

Beberapa anak jalanan yang merasa daerah kekuasaannya diganggu langsung merampas hasil mulung Ananta. Apa boleh buat, Ananta kalah jumlah juga kalah postur tubuh. Alhasil selain pasrah tidak ada yang bisa Ananta lakukan.

Bocah itu mendudukkan tubuhnya dipinggiran trotoar. Mencoba menarik napasnya yang terasa berat. Sungguh tenggorakannya kering bukan main. Sampai kedua bibir ranumnya mengering hingga mengelupas beberapa. Tidak ada uang juga tidak ada air kran yang ia jumpai. Jika hari ini hujan mungkin Ananta bisa sedikit bersyukur karna ia bisa menampung air hujan lalu meminumnya. Ahhhh itupun sungguh terpaksa.

Peluh yang mengalir ia seka dengan lengan tangan kecilnya. Tangannya bergerak, mengibas seolah mengipas tubuhnya dengan jari-jari mungil itu. Sekali lagi hanya salivanya yang bisa ia teguk dengan kasar. Sedetik membasahi kerongkongannya.

"Kok masih pusing banget sih, padahal udah gak demam lagi" gumamnya. Tangannya beralih gerak meraba keningnya sendiri yang basah. Sudah tidak panas lagi tapi rona wajahnya makin pucat tanpa ia ketahui.

Setelah beberapa menit bergulat dengan kesakitan yang ia rasakan, akhirnya Ananta bangkit. Kembali menanggalkan karung berisi beberapa botol kepundaknya. Sedikit tertatih dan sempoyongan tapi sebisa mungkin dia harus bertahan.

Itulah Ananta. Bocah 15 tahun yang tidak mengenal putus asa meski sebenarnya ia ingin sekali menjerit kepada takdir yang mempermainkannya. Langkah kakinya terhenti sesaat setelah netra bulatnya menangkap sosok wanita tua hendak menyebrang jalanan. Sedikit lenggang memang tapi dari jarak jauh bisa Ananta lihat seorang laki-laki dengan seenaknya mengendarai motor. Wanita tua itu jelas tidak memperhatikan kanan kirinya yang memang terlihat lenggang.

Secepat kilat, sebelum semuanya berakhir buruk dan na'as Ananta berlari semampunya. Dan sedetik setelahnya dia berhasil meraih tangan wanita tua itu lalu mendorongnya sampai tersungkur diatas aspal panas. Malang tapi untuknya, tubuhnya sedikit terserempet motor yang melaju itu hingga membuat dirinya sedikit terpental cukup jauh.

"Shhh ..." ringisnya. Tapi atensinya langsung beralih ke wanita tua yang tadi ia dorong. Dengan sedikit kesusahan, Ananta bangkit. Mendekati wanita tua tadi.

"Nenek gak papa?" tanyanya. Wanita itu menggeleng. Hanya tangannya yang kotor dan sedikit lecet. Tidak perlu dikhawatirnya. Justru wanita tua itu yang patutnya menanyakan hal tersebut kepadanya.

"Kamu gak papa? Tangan kamu berdarah, Nak?"

Ananta melihat lengannya yang sedikit mengeluarkan bercak darah. Perih memang. Karna tubuhnya yang tersungkur cukup keras akibat motor tadi.

"Enggak papa kok, Nek. Maafin saya udah bikin Nenek kotor. Mari saya bantu"

Ananta mengulurkan tangannya dan membantu wanita tua itu bangkit dari tempatnya. Membawanya minggir dan duduk di sebuah bangku halte.

"Justru Nenek yang berterima kasih sama kamu karna udah nolongin Nenek, sini tangan kamu biar Nenek obatin" tawar wanita tua itu. Tangannya bergerak menggeledah isi tasnya. Tapi langsung di tahan oleh Ananta.

"Enggak usah, Nek. Saya enggak papa. Maaf saya masih banyak urusan. Lain kali hati-hati ya Nek. Saya permisi, Assalamualaikum"

Segera Ananta meninggalkan wanita tua itu. Setelah mendapat jawaban salam dari wanita tua yang ia tolong. Wanita tua ihanya diam. Menatap punggung kecil Ananta yang makin menjauh dari pandangnya. Sungguh penampakan yang mengenaskan.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang