Chp #17

2.9K 337 60
                                    

Disebuah ruko yang sudah lama ditutup Ananta menjatuhkan tubuhnya di sana. Meletakkan karung berisi botol plastik dan bersimpuh manis di depan ruko, sembari membuka bungkusan roti yang ia beli barusan. Menatap orang-orang yang berlalu lalang menjadi temannya makan siang.

Teriknya mentari membuat beberapa orang berjalan di tempat yang teduh. Jalanan siang ini cukup padat, apalagi di lampu merah sana. Banyak kendaraan yang mengantri menunggu giliran untuk melaju.

Fokusnya kini beralih pada segerombolan remaja seumurannya hendak menyebrang karna lampu merah sudah menyala. Beberapa mulai berhambur melewati zebra cross. Tampaknya mereka semua terlihat begitu bahagia. Pulang sekolah dengan tugas rumah yang menggunung. Jika untuk anak-anak lainnya itu beban tapi justru bagi Ananta itu menyenangkan.

Bagaimana rasanya bersekolah? Bahkan Ananta sejak kecil belum pernah menginjakkan kakinya di pekarangan sekolahan. Berbeda dengan Galang yang masih sempat menempuh pendidikan menengah pertama sebelum kelurganya membuang dirinya.

Ananta tidak, dari kecil ia belum pernah merasakan bagaimana rasa menjadi seorang pelajar. Membaca saja Ananta tidak tahu. Dirinya buta huruf karna dari kecil tak di ajari apapun oleh Hendra.

Senyum nya terbit, membayangkan dirinya tengah berada di antara gerombolan anak-anak itu dan menggandeng tas berisikan beberapa buku di punggungnya. Sepatu bagus, baju seragam yang putih dan rapi. Ahh indahnya berkhayal.

Dengan masih mengunyah roti Ananta asyik memperhatikan anak-anak yang baru saja keluar dari sekolahan. Baru Ananta sadari bahwa tidak jauh dari tempatnya sekarang ada sekolahan yang cukup terpandang. Dan anak-anak yang menyebrang tadi adalah salah satu diantara ribuan anak di sekolahan itu.

"Wahhh sekolahnya gede banget," kagum Ananta.

"Emmm... Nanti kalo Bapak mau nyekolahin aku, Nanta mau di situ lah. Bersih," gumamnya sendiri.

"Heiii!" teriak seseorang cukup lantang.

Bukan memanggil Ananta tapi ia ikut menoleh ke sumber suara. Tampak seorang pemuda besar dengan seragam yang sama berlari kecil menghampiri seseorang. Kemudian merangkul pundak orang yang lebih kecil darinya.

Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya penting. Dan Ananta tak mendengarkannya karna jarak yang cukup jauh. Tapi mata Ananta tidak kalah jelinya. Hanya dari arah samping Ananta membulatkan matanya.

Menghentikan aktifitas mengunyahnya dan membeku. Itu orang yang tidak asing baginya. Orang yang selama ini menghilang tanpa pamit.

Orang itu...

"Ga-lang," cicit Ananta.

Tubuhnya sontak berdiri. Dan menajamkan penglihatan dengan cara menyipitkan matanya. Saat dengan singkat tubuh itu berputar menghadap ke arahnya, Ananta semakin yakin jika yang sedang ia perhatikan itu adalah Galang.

Bahkan kini penampilannya berbeda. Dengan seragam sekolah yang rapi dan tas di punggungnya. Apakah Galang sudah bertemu dengan keluarganya? Tapi teganya dia meninggalkan Ananta tanpa membawanya ikut serta. Bukankah itu janjinya waktu itu.

"Kalo gue ketemu sama nyokap bokap, gue harap lo mau ikut sama gue, ya? Kita tinggal bareng-bareng dan jangan pernah pergi dari gue, Nan," begitu kata Galang saat itu.

Tapi nyatanya dia yang ingkar janji. Dia yang meninggalkan Ananta. Sejujurnya Ananta membenci hal itu tapi bagaimana Ananta bisa marah sedang hatinya tengah bergelut dengan rasa rindu.

Ananta bergerak maju, berlari menghampiri Galang sebelum menyebrang dan meninggalkannya lagi. Setelah di rasa begitu dekat, Ananta menghentikan langkahnya. Menatap Galang yang kini terlihat begitu bersih dari sebelumnya.

Peningkatan yang luar biasa dan Ananta suka bisa melihat Galang lagi. Merasa diperhatikan seseorang dari jauh, Galang menelisir kesekitar. Lalu berhenti saat satu objek yang menahannya. Sosok tak terurus berdiri tak jauh dari tempatnya. Menatapnya nanar dengan senyum mengembang sempurna.

"Galang," ucap Ananta.

Tidak terdengar oleh Galang tapi bisa di lihat jelas dari gestur bibirnya yang berucap. Ananta bergerak kembali. Memajukan langkahnya hendak memangkas jarak. Tapi di luar dugaan, bukannya senang bisa bertemu kembali dengan Ananta, Galang malah memutar tubuhnya juga teman besar yang berhadapan dengannya tadi. Melenggang pergi terburu-buru.

Ananta diam. Mematung. Galang-nya berubah. 360 derajat berubah. Bukan hanya penampilannya tapi juga sikapnya terhadapnya. Galang yang ia temui seperti bukan Galang yang selama ini ia kenal. Dan perlahan tapi pasti punggung tegap yang memaku pandangannya sedari tadi hilang di antara beberapa kerumunan anak-anak yang menyebrang.

"Ada apa sih, Lang. Tiba-tiba nyeret gue kesini. Apa bedanya coba?" tanya Ozie teman sekelasnya.

Galang tampak celingukan, memastikan Ananta tak mengikutinya. "Emm... Enggak. Nyebrang aja dulu baru ngobrol. Nanti keseruan ngobrol gue gak tau kalo Bang Thalla jemput. Tadi lo ngomong apa? Coba ulang"

Ozie hanya ber-oh ria dan melanjutkan kalimatnya yang sempat terjeda. Lega, Ananta tak mengikutinya. Entah sejak kapan Galang menjadi ingin menjauhi Ananta. Kehidupannya kini sudah jauh lebih dari kata sempurna dan baginya kini Ananta pun sudah menemukan kehidupannya dengan Hendra. Setelah keduanya menghilang dari rumah yang dulu, Galang mengubah semua persepsi dalam dirinya. Mengenai Ananta dan juga Hendra.

Ananta seolah sudah tak mengharapkan sosoknya lagi dengan pergi dari rumah lama. Padahal di satu sisi Galang masih berusaha membawa Ananta untuk tinggal bersamanya. Niatnya dulu ingin membawa paksa Ananta dengan mengajaknya kabur dari Hendra. Tapi Ananta malah menghilang dan meninggalkannya.

Lalu anak itu datang lagi setelah sekian lama. Sayangnya Galang sudah berubah. Dan rasanya dia sudah tak menganggap Ananta ada.

Secepat itu memang hatinya berubah hanya karna merasa tak di hargai oleh Ananta. Padahal ada hal yang tidak ia mengerti mengenai jalan takdir mereka.

Tak lama sebuah sedan merah berhenti di hadapannya. Bisa di tebak jika itu mobil Athalla.

"Eh lo udah di jemput, tuh," kata Ozie.

"Emm iya... Gue pulang duluan ya. See you."

Ozie membulatkan jarinya tanda 'ok' dan membiarkan Galang masuk ke dalam mobil.

"Kok tumben tunggu nya di situ, padahal tadi Abang udah di tempat biasa kamu nunggu," kata Athalla setelah sang adik sukses masuk kedalam mobilnya.

Galang menoleh cepat. "Abang kesana tadi? Padahal Galang tunggu di sini supaya Abang gak perlu motong jalan."

"Ya kan biasanya kamu tunggu di sana."

"Emm... Hehehe iya juga ya. Enggak papa, mulai besok Galang tunggu di situ gak di sana lagi."

"Kenapa?"

"Bosen di sana pemandangannya."

"Halah alasan."

Di tempat nya Ananta masih mematung. Memperhatikan dari jauh semua yang dapat ia tangkap. Dari sosok Galang yang menjauh. Sosok Athalla yang keluar dari mobil merahnya dan celingukan mencari seseorang tanpa melihatnya sampai Galang yang masuk kedalam mobil Athalla.

Ananta sudah seperti arwah yang tak kasat mata. Diam membeku di tempat jauh dari pandangan semua orang yang ia masih ingat betul. Jadi ini kehidupan baru Galang?

Hidup bersama Athalla. Dan melupakannya.

Tbc

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang