Chp #26

3.3K 374 121
                                    

Malam senyap, malam dingin dan ini terasa sangat membosankan. Meski kondisi seperti ini sering ia alami di gubuk sederhana yang ia sebut sebagai rumahnya, tetap saja pria dengan brengos disekitar wajahnya itu merasa kesepian dan tidak tenang.

Bagaimanapun Hendra meninggalkan bocah sialan itu di rumah sendirian, tanpa pengawasan dan juga tanpa seorang teman satupun. Hendra mengusak rambutnya kasar saat dirasa tidak ada celah untuknya bisa meloloskan diri. Tempat ini layaknya neraka yang sesungguhnya. Terasa menyiksa dan menyesakkan. Padahal Hendra baru semalam berada di sini.

Tiba-tiba seorang polisi berjalan kearah selnya. Melepas gembok yang menguncinya sedari kemarin. Binar diwajah Hendra tentu saja terbit. Setelah mengeluh ternyata dirinya bisa bebas juga.

"Saya bebas?" tapi polisi itu langsung memasangkan borgol dikedua tangannya, menautkan nya lalu menguncinya.

"Tidak. Ada yang ingin bertemu dengan anda, waktu anda hanya 25 menit. Mari ikut saya," tegas polisi itu yang langsung menarik Hendra menuju tempat yang dimaksud.

Hendra muncul dari balik dinding. Membuat binar Ananta seketika cerah saat bisa melihat kembali orang yang paling berjasa di kehidupannya masih seperti terakhir ia lihat, tanpa luka sedikitpun. Hanya pakaiannya saja yang berganti jadi biru gelap khas narapidana.

Bulat matanya menatap seseorang yang berdiri di belakang tubuh bocah sialan itu. Memaku langkahnya dan membuat Hendra tak bergerak barang seincipun. Bumi ternyata sesempit ini sampai Ananta bisa bertemu orang-orang yang dulu dekat dengan bocah itu.

Samuel tak kalah kaget. Mendapati fakta bahwa Hendra yang Ananta sebut sebagai bapaknya itu. Yang tidak lain adalah Om nya Athalla. Orang yang membawa kabur adik dari sahabatnya itu, Gian.

Jadi... Apa kah mungkin semua persepsinya itu benar?

Hendra dipaksa duduk oleh salah satu polisi yang ada di sana, mengingat waktu yang diberikan tidak banyak. Berhadapan langsung dengan Ananta yang mati-matian membendung air matanya.

"Pak, ayok pulang. Nanta takut sendirian..." pada akhirnya semua percuma karna bulir air matanya luruh juga. Menetes hingga ke tangannya sendiri.

"Untuk apa? Semuanya percuma. Kamu pikir mudah keluar dari sini?" suara itu masih saja dingin. Tapi Ananta tetap menyukainya.

"Pak polisi, bisa tolong lepas tangan bapak saya? Saya mau bawa bapak pulang," rengek Ananta.

"Bodoh!! Mana mungkin mereka mau mendengarmu anak sialan! Kamu pikir segampang itu?!"

Ananta kira Hendra akan luluh karna dia membelanya dan hendak membawanya kembali pulang. Ternyata semua diluar ekspetasi. Hendra seolah tak suka ia utamakan. Padahal Ananta sampai drop gara-gara memikirkan bajingan itu. Hendra bahkan masih dengan angkuhnya menyebut Ananta sebagai anak sialan dihadapan semua orang.

"Pulang kamu! Dan jangan pernah kesini kalo belum bisa membebaskan, Bapak" Hendra bangkit. Hendak kembali ke dalam sel. Muak melihat wajah memelas Ananta.

"Tapi, Pak... Ananta takut sendirian. Ananta mau ikut, Bapak." Ananta mencekal lengan Hendra.

Hendra menatapnya tajam. Melirik sekilas Samuel yang masih ia ingat betul sahabat dari keponakannya Athalla. Dan mungkin saja masih mengingatnya.

Akhirnya Hendra menepis tangan kecil itu. Membuat tubuh Ananta sedikit terhuyung jika tidak Samuel dengan sigap menahannya.

"Bapak bilang pergi! Kamu gak berguna menangis di sini dan memohon pada siapapun. Terus bekerja dan bawa uang ke sini untuk menebus Bapak supaya bisa keluar. Mengerti!"

Samuel geram. Dia memang diam sedari tadi tapi kini tidak bisa menahan diri lagi ketika menyadari Hendra yang sekarang seperti apa. Menyuruh anak sekecil Ananta, yatim-piatu untuk mencari uang dan membebaskannya. Dengan sikap dan tindakan semacam itu, Ananta masih menyebutnya sebagai seorang ayah. Bahkan aura saja Hendra tak memilikinya.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang