”Shhhh ...”Ananta menggeliat ketika ujung botol obat merah ditangan Galang mulai mengeluarkan isinya dan menimbulkan sensasi perih pada lukanya.
“Diem sih, Nan. Jangan kayak cacing kepanasan gitu!” gerutu Galang—temannya.
“Perih, Lang. Sakit.”
“Lagian lo, demen banget bikin Bapak murka.”
“Gue cuma enggak mau dosa, Lang.”
“Dari pada begini? Dosa pikir belakangan bisa, Nan. Yang penting bapak gak mukulin elo. Gue kasihan lihat lo begini.”
Ananta, bukan Galang. Sudah jelas itu. Jika Galang itu penurut berbeda dengan Ananta yang justru berani melawan Hendra, sosok yang Galang panggil 'Bapak'.
“Makasih karna udah khawatir, Lang. Tapi tetep gue enggak mau kalau disuruh nyopet,” pungkas Ananta.
Galang hanya bisa mendesah keras. Ananta memang berpendirian kokoh. Dia tipe orang yang tidak mudah goyah, apalagi menyangkut dengan hal tidak terpuji seperti menyopet itu.
Selesai dengan semuanya, Ananta kembali memakai kaos hitamnya. Udara malam ini begitu dingin kontras dengan wajahnya yang pucat. Syukurnya pencahayaan di kamar mereka itu minim, membuat Galang tidak begitu memperhatikan raut wajah Ananta.
Galang mendesah keras lagi. Bukan Ananta jika tidak seperti itu. Ucapannya memang benar, tapi bukan berarti harus merelakan tubuh kecil itu dihajar habis-habisan seperti ini.
“Bapak cuma nyuruh kita buat nyopet. Bukan merampok. Rezeki yang kita ambil dari orang itu cuma sebagian enggak semuanya. Jadi kenapa lo tetep kekeuh, sih?”
“Gue tetap lebih baik mulung sambil ngamen, Lang. Mencopet itu tetap dosa meski rezeki yang kita ambil cuma sebagian. Ingat, itu bukan hak kita. Gue kan udah bilang berulang kali ke elo.”
“Tapi badanmu jadi remuk begini, Ta.” Galang menatap nanar sahabat yang sudah ia anggap adiknya sendiri. Tidur tengkurap. Meski hanya beralas kardus bekas kulkas dan berbantalkan sarung yang biasa Ananta gunakan untuk sholat, rebahannya tetap terlihat nyaman. Sudah biasa. Memang. Galang pun sama.
“Halah uwis, Lang. Lagian udah lo obatin, besok juga udah baikan. Enggak usah lebay.”
“Ananta mana pernah mau dengerin!” ucap Galang jengah.
---------
“Copet!!! Copet!!!!”
Galang lari kalang kabut ketika beberapa orang dewasa mengejarnya dengan langkah panjang. Aksinya kali ini payah sekali sampai kepergok oleh semua orang, padahal penampilannya sebisa mungkin ia sama kan dengan orang sekitar.
Jalan buntu, Galang kelabakan mencari tempat bersembunyi. Kepalanya celingukan mencari tempat bersembunyi. Tapi beruntung, tuhan masih memberinya dewa penolong. Disalah satu gang depannya, Ananta tengah berdiri mengorek kotak sampah. Ananta memang bisa ia andalkan setiap waktu.
“Nanta!!” teriak Galang.
Yang punya nama sontak menghentikan aksinya dan menatap seseorang yang baru saja memanggilnya. Galang berlari mendekatinya. Sudah bisa Ananta tebak, pasti Galang kepergok lagi.
“Ta ...” Galang berhenti di hadapan Ananta yang mematung. Mengatur napas tak beraturannya sejenak.
“Ta ... Tolongin ... Hah ...”
Ananta menanggapinya dengan santai. Keningnya berkerut seolah bingung dengan ucapan sahabatnya. Padahal sudah jelas Ananta tahu maksud Galang.
“Enggak usah sok bego. Tolongin buruan!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Parashit!
Teen FictionUp ulang "Kapan aku bahagia?" "Setelah kamu mati. Kebahagiaanmu menanti diujung sana." ®Sugarcofeee