Chp #23

2.9K 371 159
                                    

Temaram lampu menyapanya. Dinginnya malam mengusik tubuhnya yang jatuh pingsan diatas lantai ubin. Ananta sadar ditengah malam. Tepat pada pukul 2 dini hari. Masih dengan kesunyian yang makin merambat. Melumpuhkan tumpukan semangat yang menjadi penopangnya selama ini.


Ringisan kecil keluar dari bibir pucatnya. Tak ada yang menolongnya. Ananta benar-benar menjadi angka satu tanpa teman.

"Ba-pak ... Shhh sa-akit ..." masih sempat mengadu. Berharap angin malam mau menyampaikan keluhnya pada Hendra.

Mata sayu Ananta terbuka perlahan, menampakan iris hitam penuh luka. Masih sama, tidak ada siapapun di sana, kecuali dirinya yang mengenaskan.

Ananta bangkit, menyeret langkahnya keluar dari rumah. Dia harus menemui Hendra. Menjemputnya dan membawanya pulang kembali ke rumah. Bagaimanapun caranya.

Syukurlah, nyeri diperutnya sedikit mereda. Tidak heran lagi jika perutnya selalu rewel seperti ini mengingat jam makan yang sesuka hatinya juga porsi yang tidak setara, tidak menutup kemungkinan membuatnya memiliki riwayat penyakit maag. Ananta tahu itu tapi menganggapnya sepele.

Berjalan beberapa menit gerimis justru mulai berjatuhan ke bumi di saat kakinya sudah jauh melangkah. Ananta berdecak, menggunakan kedua tangannya sebagai payung. Seakan tak ada hari esok, Ananta terus berjalan menerjang pekatnya malam dan dinginnya hujan.

"Pak... Tunggu Ananta," monolognya. Seperti menyemangati dirinya sendiri untuk terus maju.

Tapi, sepertinya kesialan selalu di belakangnya, sampai tanpa sengaja tubuh seperti tinggal tulang itu jatuh terjerembab di atas aspal. Entah karna nasib yang selalu sial atau memang kakinya yang sudah tak mampu lagi menuruti keinginan otaknya.

---

Samuel, dokter psikolog itu tengah bergumul dengan pikirannya spontan dibuat kaget kala netranya menangkap sosok kecil dipinggir trotoar tiba-tiba jatuh tersungkur dengan cukup keras. Membuat dirinya langsung menginjak rem mobil.

Sam keluar dari mobil dan berjalan cepat mendekati sosok yang tak lain adalah Ananta. Langkah tergesa-gesanya masih mampu Ananta lihat meski matanya mulai menyayu.

Rungunya bahkan masih bisa mendengar ketika sosok berwibawa itu memanggil dan menepuk pipinya pelan beberapa kali. Tapi tuhan seolah mempermainkannya, kelopak itu terasa begitu berat hingga pada akhirnya terpejam begitu saja. Meninggalkan sosok lebih dewasa darinya dengan raut wajah khawatir.

Samuel segera membawa tubuh tak sadarkan diri itu masuk ke dalam mobilnya. Kemana akan dia bawa bocah itu? Samuel sendiri masih bingung, yang terpenting adalah membawanya ketempat aman.

Seolah paham, Samuel menyerngitkan dahi. Menautkan kedua sisinya bingung kala matanya dengan seksama meneliti tiap bentuk garis wajah bocah itu. Seperti tidak asing baginya. Dimata Samuel, dirinya seperti melihat sahabatnya di masa kecil. Kadar peka yang diluar batas kewajaran membuat Samuel me-spekulasikannya sendiri.

Bocah ini memiliki aura seperti Athalla.

Tapi bagaimana mungkin?

Selang beberapa menit akhirnya Samuel sampai di tempat tujuan. Pada akhirnya Sam membawa bocah itu ke rumahnya. Malam yang semakin larut dan jarak yang cukup jauh membuat Samuel urung membawa bocah itu ke rumah sakit.

Dengan punggungnya, Sam menggendong bocah itu. Meniti setiap undakan teras rumahnya sampai ke pintu utama. Saat bel rumah ia tekan, hanya perlu menunggu beberapa menit sampai pintu besar itu terbuka. Menampakkan sosok cantik dengan baju tidurnya; Olive--istrinya.

"Loh, Mas, anak siapa kamu bawa?" tanya Olive.

Tentu saja dirinya kaget mendapati sang suami pulang dengan menggendong bocah dipunggungnya.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang