Chp #36

3.5K 344 186
                                    

Menangis, hanya itu yang mampu Ananta lakukan saat sendiri. Terlebih lagi kini sakit di kepalanya ikut andil menambah sakit pada bagian yang lainnya. Tak ada seorangpun disana. Hanya angin dan gelapnya malam berteman temaram lampu yang sengaja ia biarkan menyala. Diatas brangkar ia merintih kesakitan. Mencengkram kuat-kuat rambutnya sampai beberapa helai rontok akibatnya. 

Ia bersimpuh diatas brangkar dengan kepala telengkup ke depan. Mengeram tertahan dengan gigi menggigit bibir dalam. Menghadap pintu ruang rawat, berharap seseorang muncul dari balik sana dan merengkuh tubuh menggigilnya.

"Akh!" Ananta menengadahkan kepala. Entah harus berposisi seperti apa dia sekarang supaya sakit di kepalanya hilang. Karna rasanya sungguh luar biasa menyiksa.

Napasnya memburu, seolah ruang rawatnya menyempit secara mendadak. Membuat udara di sekitarnya makin menipis dan seolah menjauh.

"Kak!" berharap suara itu didengar. Namun, nyatanya itu hanya gumaman. Tak akan ada orang yang mendengarnya. Kecuali masuk kedalam ruangan tersebut.

"To-long ... Sshhh!"

Pandangan sayunya terpaku pada pintu kamar yang terbuka. Meski samar, buram dan sedikit gelap tapi Ananta masih bisa melihat seseorang muncul dari balik sana. Dan tampak khawatir mendekatinya.

"Kamu kenapa? Ananta kenapa?" ucap Olive khawatir.

Olive segera bergerak mendekat, membawa tubuh menggigil itu dalam pelukannya.

"Sa-sa ... Akh! Kit, Kak," adunya dengan napas memburu dan juga tercekat.

"Tunggu, Kak Olive panggil Kak Sam dulu." Olive melepas pelukannya lalu bergegas keluar dari kamar rawat Ananta.

Ia kembali sendirian. Dengan sakit yang makin merajai. Tubuhnya melemas seketika tapi masih mampu menengakkan kepala. Mempertahankan kesadarannya. Dan selain merintih kesakitan tak ada yang bisa Ananta lakukan lagi.

Tak berselang lama, saat tubuhnya hampir tersungkur ke depan, Samuel datang dan dengan sigap menangkap tubuhnya. Mengelus pundak bergetarnya lembut memberi ketenangan.

"Kak Sam ..." panggilnya lirih.

"Iya, Kakak di sini."

"Sa-kit ..." adunya disela ringisannya.

"Gak apa-apa. Ananta kuat. Ananta pasti baik-baik aja," ucap lembut Olive menenangkan. Ikut mengusap punggung belakang Ananta.

"Suntik dulu, ya? Biar sakitnya hilang," pinta Samuel. Namun sedetik kemudian alisnya bertautan kala kepala yang bersandar pada dada bidangnya menggeleng pelan.

"Kenapa?" sambung Samuel.

"Itu ... Le-bih ... Sa-kit, Kak ..." suara itu sukses meruntuhkan pertahanan Samuel. Tanpa sadar ia semakin mengeratkan pelukan pada Ananta, ikut menangis dengan sebelah tangan mengusap lembut lengan Ananta yang membengkak.

"Maaf ... Maafin, Kak Sam udah buat tangan kamu sakit," sesal Samuel.

Diam-diam Olive juga menahan emosinya. Tersenyum hangat berusaha menjadi yang paling tegar di depan keduanya. Ikut memeluk Ananta, mengecupi rambut belakang Ananta sembari mengucapkan kalimat menenangkan.

"Kak Olive, Kak Sam dan semuanya sayang sama, Ananta. Kamu hebat Ananta. Jangan pernah menyerah."

Dibalik dada bidang Samuel, Ananta menyunggingkan bibirnya. Membentuk lengkung tipis meski tak akan ada yang melihatnya. Perlahan ia pun mau berdamai dengan dirinya sendiri. Kenyataan hidupnya memang tak selalu tentang bahagia bersama Hendra. Sekarang banyak orang yang mengharapkannya, menyanyanginya. Termasuk, Athalla.

"Kak Sam ..."

"Iya."

"Bang Thalla ..." Samuel membeku seketika. Sejenak ia menatap sang istri sebelum akhirnya mulai membuka obrolan yang penting.

"Ada apa?"

"Kemana, Bang Thalla?  Ananta pingen ketemu." Olive dan Samuel saling adu pandang.

"Kamu yakin?" tanya ragu Samuel. Bocah itu mengangguk pelan.

"Yaudah besok Kakak akan ajak Bang Thalla kesini. Tapi dengan satu syarat, kamu harus sehat dulu. Istirahat."

Tangan lemas itu membalas pelukan Samuel. Mengutarakan senang yang tak mampu ia ungkapkan dengan kata-kata. Tapi, apa mungkin semuanya akan baik-baik saja hanya dengan dirinya yang yang mau berdamai dengan emosinya sendiri?

❤️❤️❤️

Diantara dua gundukan tanah, Athalla menangis. Meluapkan rasa bersalah yang terus menaungi hari-harinya. Kehilangan sang adik untuk kesekian kalinya. Mengingkari janji yang pernah ia suarakan pada dirinya sendiri dan kedua orang tuanya.

"Ma ... Pa ... Maaf ..."

Athalla memeluk tanah berselimut rumput hijau seolah raga seseorang yang sedang ia peluk. Duduk bersimpuh tak peduli kotor yang membuat penampilannya semakin terlihat buruk. Toh, dia memang sosok yang buruk, bukan? Menyiksa sang adik demi obsesi tak mau terpisah lagi.

"Apa ini hukuman buat, Thalla?" 

" ... Atau sebuah karma?"

Percuma, tak ada jawaban.

Athalla sudah mirip seperti orang gila, berbicara dengan dua nisan yang tak akan menjawab semuanya pertanyaannya. Sudah tak ada lagi tempatnya mengeluh selain dua nisan dengan nama dua orang yang sangat ia sayangi selain Gian. 

"Kalau memang Athalla salah kenapa kalian gak hukuman aku, Ma ... Pa ..., Ajak Thalla pergi sama kalian. Kalau memang Ananta bakalan benci sama Athalla. Kakak kandungnya sendiri. Hiks."

Wajah basahnya dibelai angin di sore hari. Tanpa sadar ia sudah diawasi oleh seseorang dari jauh. Galang mengikutinya. Memperhatikan Athalla yang terlihat menyedihkan setelah perginya Ananta. Semampunya, ia berusaha mengisi kekosongan di hidup Athalla. Namun itu percuma. Karna kenyataannya memang posisi Ananta tak mungkin ia ambil alih. Meski dulu pernah. 

Kakinya bergetar, hendak melangkah maju dan membawa tubuh Athalla dalam pelukannya. Memberitahu Athalla kalau di sini masih ada dirinya yang menyanyangi dan mengharapkan Athalla. Tapi sedetik kemudian ia sadar, membuat langkahnya tertahan. Dia bukan siapa-siapa. Ingatkan lagi, dia bukan siapa-siapa dalam kehidupan Athalla.

Dering ponsel mengalihkan atensinya. Sebentar, Athalla mengusap air mata diwajah kotornya. Meraih ponsel dalam saku dan melihat siapa gerangan sang penelpon. 

Panggilan masuk dari Samuel  ...

Sedikit terkejut, Athalla buru-buru mengangkat telepon tersebut. Berharap kabar gembira dari sang penelpon. 

"Hallo, Sam." 

"Thalla, kamu bisa ke Rumah Sakit Pelita sekarang?" ucap Samuel dari seberang sana tanpa basa-basi. 

"Ada apa? Kenapa, Ananta?" tanyanya panik. 

"Dia cuma pingin ketemu lo."

Antara percaya tidak percaya. Athalla kira Ananta akan menjauhi dirinya dan memilih hidup bersama Samuel atau jika tidak dengan Hendra dipenjara. Ah, itu konyol. Namun, diluar ekspetasinya, Ananta mengharapkan kehadirannya. Padahal mengingat perbuatannya selama hidup bersama Ananta tidak bisa dikatakan baik-baik saja. Ia terlalu memaksakan kehendaknya. 

"Hallo. Thalla, lo masih disana 'kan?" Athalla tersentak kaget. Sedikit gugup ia menjawab Samuel. 

"Iya. Aku ke sana sekarang," putusnya. Mengakhiri panggilan secara sepihak.l

Ia bangkit lalu bergegas menuju ke mobilnya. Namun baru beberapa langkah, Athalla menghentikan aksinya saat kedua netranya tak sengaja bersitemu dengan manik legam yang seolah membayanginya terus. Galang ternyata mengikutinya. Namun lagi dan lagi, Athalla tak mengacuhkannya. Tetap melanjutkan langkah dan bergegas ke rumah sakit. 

Sebenarnya ada rasa marah yang ingin ia luapkan. Ada rasa iri juga yang membara. Namun kenyataan tak memihaknya. Ini bukan tempatnya. Ini bukan kedudukannya. Ia hanya parasit yang terus memohon sang pohon untuk memberinya tempat untuk tinggal. Ia hanya debu bagi semua orang. Pengganggu. Tapi ia yakin, ada tujuan tersendiri dari kehadirannya di kehidupan mereka. Bukan hanya sebagai perusak.

Tbc

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang