Gemericik air menyambut pagi. Airnya berterbangan memeluk raga yang menimbulkan rasa malas. Matahari kalah dengan gumpalan awan cumolonimbus yang masih menggantung. Menurunkan hujan bercampur gemuruh lembut yang bersahut-sahutan.
Pagi ini awal dari segalanya. Hidupnya berubah mulai hari ini. Sepasang kelopak mata dengan hazel indah itu tersingkap. Meneliti sekitarnya yang masih tampak buram. Deru napasnya mengembun di balik masker oksigen. Perlahan tubuhnya bergerak, hanya saja rasanya kaku.
Tubuhnya tak memiliki tenaga sama sekali. Seakan menolak perintah dari otaknya untuk bergerak. Tangan yang dipasangi infus terasa kebas. Membuat seluruh bagian tubuhnya mati rasa. Karna sungguh badannya terasa kaku.
Kepalanya bergerak ke kanan-kiri. Iris hitamnya mengedar ke sekeliling. Ruangan dengan aroma obat-obatan yang menyengat. Dengan sekuat tenaga Ananta akhirnya bisa menggerakkan sebelah tangannya. Menariknya keatas dan mengambang di udara. Memandang lamat jarum yang menancap di punggung tangannya dan terasa nyeri jika mengepal.
Bergerak turun, ada sesuatu yang menganggu di wajahnya. Ananta meraba itu. Dan menurunkannya ke leher saat rasanya tidak nyaman. Tidak ada seorangpun di sini. Hanya dirinya dan juga air hujan dibalik jendela yang menyingkap. Lalu kepada siapa ia bertanya tentang ini semua?
Sedetik kemudian atensinya teralih pada pintu bercat putih yang perlahan terbuka. Menampilkan sosok berwibawa dengan jas putih dan senyum merekahnya. Bertolak belakang dengan suasana mendung di luar sana.
"Hey, sudah bangun?" Samuel bergerak maju setelah menutup pintu ruang rawat Ananta.
"Bagaimana? Kamu tidur dengan nyenyak?" Samuel mengusap puncak rambut Ananta lembut.
Mengukir senyum indah sebagai tanda selamat datang kepada bocah itu. Setelah 2 hari tak sadarkan diri diatas brankar. Ananta mengangguk. Membalas senyum Samuel meski tipis.
"Kamu butuh sesuatu? Bilang sama Kakak..." Samuel duduk pada bangku kecil di samping bangsal.
"Ha—us," lirih Ananta pelan.
Samuel segera meraih gelas berisi air putih diatas nakas. Manaikkan bangsal yang Ananta tempati dan membantu Ananta untuk minum dengan benar.
Tangannya bergerak lemah. Meraih gelas dan menempelkannya pada bibir pucatnya. Menelan semua air itu hingga hampir tandas separuhnya.
"Udah," katanya. Mendorongkan lemah dan melepasnya.
"Apa yang kamu rasain? Sakit?" tanya Samuel lembut. Sedikit mencondong tubuhnya ke depan guna menarik atensi Ananta yang menunduk.
Ananta mengangguk. Meringis pelan dengan tangan dibalik selimut yang mencengkram erat bagian perutnya.
"Mana yang sakit?" Samuel meraba bagian perutnya dan menyibak selimut itu.
Samuel mengcengkramnya erat, melarutkan segala khawatir yang membelenggunya selama 2 hari ini. Membuat tangan dingin yang mengepal kuat itu terkulai lemas bersamaan mata yang perlahan memejam.
Lagi-lagi Sam mengulas senyum. Menatap lamat sosok dengan wajah tampak lelah itu. Begitu tenang dan damai. Sejenak melupakan beban yang selama ini ia pikul seorang diri. Gian yang dulu manis dengan pipi gembilnya kini sudah besar rupanya. Samuel masih ingat betul wajah ceria itu selalu terumbar dihadapan semua orang. Membuat orang di sekitarnya merasa gemas dan berakhir dengan mencubit pipinya.
Meski sekarang terlihat kurus dan tirus, Gian tetap menggemaskan bagi Samuel. Senyumnya tak pernah berubah dari sejak kecil tetap sama. Entah karna apa, meski belum pasti dan ada bukti Samuel tetap percaya bahwa bocah yang sedang ia tatap ini adalah Gian. Bukan orang lain.
![](https://img.wattpad.com/cover/209562971-288-k578786.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Parashit!
Ficção AdolescenteUp ulang "Kapan aku bahagia?" "Setelah kamu mati. Kebahagiaanmu menanti diujung sana." ®Sugarcofeee