Chp #20

3.2K 361 124
                                    

Dulu Ananta pikir bukan hanya dirinya yang bernasib se-mengenaskan ini. Ada Galang bersamanya. Mereka sama-sama menderita. Ditinggal dan dibuang oleh keluarga masing-masing.

Tapi disaat sosok Galang kini berada diatas, ia pikir tangan yang sering menopangnya itu akan terulur. Membawanya pergi dari kenyataan yang selama ini membelenggu. Namun itu semua hanya mimpi semu Ananta. Sosok itu bahkan kini membencinya. Menyalahkan dirinya yang masih terlalu bodoh ini.

Hendra tergopoh-gopoh menghampiri Ananta. Murka, anak itu lari dari rumah dan berakhir di sini. Sejenak Hendra menghentikan langkahnya. Menumpukan tangannya pada kedua lutut lelahnya sembari mengatur napas yang masih tersenggal.

Sekilas mata Hendra melirik Ananta yang tampak tenang dipinggir jembatan. Berdecih lalu membuang ludahnya kesamping. Seolah menganggap remeh tindakan Ananta.

"Yaa!!! Kamu benar mau mati?!"

Ananta tak menoleh. Masih terlihat tenang pada posisinya. Membentangkan hening disela isak tangis yang mulai memudar.

Tak mendapati respon yang berarti Hendra emosi. Melangkah tergesa lalu meraih lengan Ananta.

"Hei... Menyingkir bodoh, sungai ini dalam tanpa diukurpun."

Dingin suara itu menggetarkan hati Ananta. Setidaknya masih ada setitik harapan yang menginginkan dirinya untuk tetap hidup meski dalam kebencian.

Tapi apakah itu tidak percuma. Mungkin Hendra hanya takut akan kesendirian bukan takut akan kehilangannya.

Sebelah tangan Hendra mencengkram erat pembatas besi jembatan sedangkan sebelahnya mencoba menarik Ananta untuk kembali.

Tangis itu kembali terdengar. Isakan yang tadinya teredam kini seolah kembali kepermukaan. Si kembar onix yang sudah membengkak kembali mengeluarkan kristal bening. Mengudarakan sesak yang selama ini bocah itu terima.

Ananta menepis tangan Hendra kuat. Sampai sedikit membuat tubuhnya terhuyung dan jatuh kesungai jika Hendra tak sigap meraihnya lagi dengan kedua tangan.

"Hyaaa!!! Kamu gila?! Ha?! Itu dalam bodoh! Kamu benar-benar ingin mati!!"

"Lepas!!! Apa peduli, Bapak?!"

Dingin mata Ananta menusuk dada Hendra. Membelit batinnya yang telah gagal menjadi seorang ayah.

"Kamu pikir bunuh diri akhir dari segalanya?"

"Nanta bilang lepas!!!"

Ditempatnya Ananta berontak, terus bergerak untuk melepas cengkraman kuat tangan besar itu.

"Hyaa!!!" teriak Hendra. Tangannya makin erat mencengkram kedua pundak kecil itu.

"Apa peduli, Bapak?! Aku tanya... apa peduli, Bapak tentang Ananta?!! Jawab kalo Bapak punya alasan! Jawab, Pak!"

*Plakkk

Sebelah tangan besar itu mendarat tepat dipipi tirus Ananta. Menyalurkan panas yang merambat keseluruh bagian tubuhnya. Dengan gerakan cepat Hendra menarik kerah baju Ananta. Menyeretnya paksa sampai melewati besi pembatas jembatan.

Hendra melempar tubuh itu ke aspal dingin. Tangannya terkepal kuat dengan garis wajah yang mengeras. Merasa tidak terima karna Ananta sudah mulai berani melawan dan membentaknya. Sedikit bersyukur juga karna emosinya mampu membawa Ananta ketempat yang lebih aman.

Parashit!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang