Part 12
Tak ada sepatah katapun yang Athalla ucapkan selama mobil nya melaju. Kecamuk dalam otak membuatnya buntu untuk memulai bertanya. Bukan penjelasan dari Galang yang Athalla mau melainkan dari Hendra langsung. Mulut laknat yang sudah bermain-main dengan dirinya.
Di sebuah gang kecil Athalla menghentikan mobilnya. Memarkirkannya di sana sebab jalan masuk untuk ke rumah Galang dan juga Ananta itu sempit. Hanya motor yang muat. Athalla jalan lebih dulu meninggalkan Galang tanpa menghiraukannya. Semua belum pasti meskipun Galang sudah memberitahunya.
10 menit berjalan, kedua nya sampai di depan rumah yang dituju. Athalla langsung saja menggebrak pintu itu sampai terbuka secara paksa. Hendra memutar kepalanya. Menatap tidak suka kepada seseorang yang baru masuk.
"Kamu gak punya sopan santun, ha?!" Hendra bangkit dan langsung menghardik Athalla.
Tanpa basa basi, pemuda itu maju dan langsung menarik baju Hendra dengan tidak sabaran. Satu bogem mentah ia luncurkan ke wajahnya. Menimbulkan luka robek disudut bibir pria itu.
"Bajingan!"
Hendra berdecih. Apa lagi ini?
"Maksud kamu apa?!" tanya Hendra dengan nada menantang.
"Om bilang kalau adik saya sudah meninggal dan kirim jasad dia ke rumah kami, lalu dia siapa?!" Athalla menunjuk Galang yang menundukkan kepalanya takut.
Hendra dibuat bingung. Dia? Siapa? Bukankah dia Galang? Anak yang ia pungut di pinggir jalan.
"Dia dateng ke Thalla dan bilang kalo dia adik Thalla. Apa maksud nya?!" lanjut Athalla.
Hendra mengerutkan dahinya. Dia memerlukan waktu untuk mencerna kalimat yang baru saja Athalla ucap.
Galang mengaku kepada Athalla bahwa dirinya adik kandung Athalla?
Betapa konyolnya bocah nya satu ini.
Saat nalarnya sudah berjalan barulah tampang bingungnya berubah seketika setelah berdecih membuang wajah. Galang tak mampu menatapnya. Seolah takut Hendra menikamnya.
"Iya. Dia memang adik kamu brengsek," putus Hendra. Menyunggingkan senyum devil yang Athalla benci.
Semua yang ada di sana tentu saja tercengang begitu juga dengan Galang. Ia pikir Hendra akan mengatakan sejujurnya bahwa dia telah berbohong. Tapi semua diluar kepalanya. Hendra mengakuinya sebagai adik dari Athalla.
Satu bogem keras lagi mendarat di wajah Hendra. Darah sampai keluar dari dalam mulutnya. Sepertinya giginya rontok. Bukannya membalas Hendra justru tertawa renyah. Membuat Athalla semakin naik pitam. Tapi kali ini Hendra menahan serangannya. Dengan cepat tangannya menahan tinjuan Athalla yang hampir mengenainya.
"Apa lagi yang kamu mau?"
"Apa maksud dari semua ini! Jelaskan semuanya!"
"Kamu pikir Om bakal biarin keluarga kamu hidup tenang setelah adik sialanmu itu hancurin kehidupan Om?!"
Hendra bangkit meski tubuhnya sedikit terhuyung tapi berhasil berdiri dengan sempurna. Dengan punggung tangan, Hendra mengusap darah yang keluar dari mulutnya. Menatapnya nanar darah tersebut.
"Gimana rasanya kehilangan orang yang paling kalian sayang? Ha?"
"Sakit kan? Seolah hidup kalian berhenti saat itu juga. Dan itu yang Om rasain waktu Gian bunuh istri dan calon bayi Om!"
Sekarang ganti Hendra yang menarik kerah baju Athalla. Menatapnya nyalang seolah ingin memakannya hidup-hidup.
Athalla menggeleng keras. Matanya sudah berlapis bening kala ingatannya seolah ditarik mundur oleh Hendra. Saat jasad kecil yang tak lagi utuh datang ke rumahnya. Tangis kecil Gian pun tak lagi menyambangi telinganya. Semuanya memang terasa hancur.
Tapi bukan, itu bukan salah adiknya. Itu kecelakaan tapi Hendra selalu menyalahkan adiknya. Hendra melepas cengkraman kuatnya hingga Athalla tersungkur jatuh ke bawah. Sekilas matanya bersitemu dengan Galang dan menampilkan senyum smirk nya. Seolah mendukung jalan yang Galang pilih.
"Sekarang bawa adik kamu itu pergi dan jangan ganggu hidup Om lagi!" Hendra bergerak mendekati Ananta yang ternyata sedari tadi terbaring di atas sofa dengan luka di kening. Galang seketika terbelalak dan baru mengetahui kondisi Ananta sekarang.
Wajahnya bahkan lebih pucat dari sebelumnya. Dadanya tak bergerak sedikitpun juga darah yang mengotori sebagian wajahnya, bagaimana bisa?
Galang hendak melangkah mendekati Ananta, tapi secepat kilat lengannya ditahan. Galang menoleh, mendapati Athalla yang sudah berada di belakangnya.
"Ayo pulang," titah Athalla. Pulang? Kemana? Ini rumahnya dan...
"Tapi... Ananta, Bang?"
Raut khawatirnya begitu kentara. Andai mulutnya tak seegois tadi mungkin bukan dirinya yang ditahan Athalla tapi Ananta. Ananta yang lebih membutuhkan pertolongan.
Athalla mengikuti arah pandang Galang. Benar, ada denyut yang berbeda kala melihat kondisi Ananta sekarang ini. Tubuh kurus nya tampak memprihatinkan. Apalagi luka di keningnya begitu kentara. Sekelebat wajah kecil Gian hadir di ingatannya.
Hendra menghentikan aktifitasnya mengobati luka Ananta lalu memutar pandangan. Menatap nyalang dua orang yang tidak berguna itu tak lekas angkat kaki dari rumahnya.
"Pergi saya bilang!" teriaknya keras.
Athalla kembali tersadar. Kemudian kembali menarik lengan tangan Galang untuk segera pergi.
"Ayo."
"Tapi Ananta Bang.?"
"Maaf, Lang. Dia bukan hak Abang," ucap Athalla penuh kekecewaan.
Galang masih tak mau beranjak. Bukan ini yang ia mau, meninggalkan Ananta dengan pria singa itu. Selama ini hanya dia yang menjaga Ananta dari amukan Hendra. Jika dirinya pergi lalu siapa?
Galang merutuki mulutnya yang begitu tidak tahu diri. Merebut apa yang seharusnya milik Ananta. Athalla makin menarik tangannya. Memaksa nya pergi dari rumah itu. Sungguh berlama-lama di sini Athalla merasakan sesak yang begitu mencekam.
Jadi mau tidak mau Galang harus meninggalkan Ananta. Sendiri.Disisi lain, Hendra mengerung dalam batin. Rasa nya ia ingin berteriak kala tanpa sengaja Athalla lagi-lagi menariknya kemasa lalu yang sangat memuakkan. Dengan tangan yang menggenggam erat tangan dingin Ananta, Hendra terisak. Dalam hati rasanya tersanyat kala tubuh kecil dan sebenarnya tak berdosa itu menjadi bahan pelampiasannya.
Entah sampai kapan benci melingkupi dirinya. Dirinya masih normal, sejahat jahatnya dia kepada Ananta selalu saja ada penyesalan diakhirnya. Bahkan kini sudah 2 jam anak itu tak sadarkan diri. Membuat Hendra semakin panik. Bukan saatnya Ananta mati dan bukan kematian Ananta yang ia harapkan.
"Bangun... Kamu harus tetap hidup anak sialan!" Hendra mengeram disela isakannya.
"B-ba...pak."
Suara itu masuk ke dalam gendang telinganya. Meski semu tapi masih bisa terdengar. Hendra mengangkat kepalanya. Memastikan bahwa pendengaran nya masih normal.
Ananta masih memejam, meski begitu tubuhnya bergerak tidak nyaman. Kernyitan halus muncul di dahinya. Kemudian perlahan matanya mengerjap. Tampak kosong tak ada nyawa. Dalam hati Hendra bersyukur sebesar-besarnya meski selalu ia tampik berulang kali.
Entah, dia begitu berterima kasih kepada Galang karna telah menggantikan posisi Ananta yang sesungguhnya. Nyatanya, anak itu juga menginginkan kehidupan yang layak tidak seperti di sini. Tapi dia meninggalkan satu barang berharga. Sesuatu yang selalu Galang bela. Sesuatu yang selalu Galang jaga. Sesuatu yang selalu Galang prioritaskan. Yakni Ananta. Dan mulai saat ini, anak itu sepenuhnya ada pada dirinya.
"Tetap hidup untuk Bapak benci"
Ingat satu hal, Ananta akan selalu lupa tentang kejadian sebelum ia memejamkan mata. Kecuali Hendra dan Galang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Parashit!
Teen FictionUp ulang "Kapan aku bahagia?" "Setelah kamu mati. Kebahagiaanmu menanti diujung sana." ®Sugarcofeee