Senja sore itu merubung. Langit abu-abu telah menenggelamkan matahari di jam yang sama seperti kemarin. Mobil gagah dengan warna merah itu melaju dengan santai. Menyusuri jalanan kota Jakarta yang hari ini terlihat sedikit lengang. Tidak seperti biasanya.Dengan masih mengenakan setelan jas kerja, Athalla menjemput sang adik dari rumah sakit. Hari ini, harinya Ananta untuk bebas. Setelah hampir lebih dari 1 minggu ia mendekam ditempat terkutuk itu. Dan berkat bujukan dari berbagai sisi akhirnya Ananta mau untuk tinggal bersama Athalla, lagi.
Sebelum adzan maghrib berkumandang mereka sudah tiba dipekarangan rumah besar milik Athalla. Beberapa penghuni rumah; Mang Dadang, Pak Gino dan Bi Inah, langsung menyambut kedatangan mereka. Dan yang paling antusias tentu saja Bi Inah. Wanita yang masih memakai celemek ditubuhnya itu memancarkan binar yang luar biasa dari sebelumnya.
“Selamat datang, Mas Gian,” sapanya dengan senyum tegas diwajah. Bi Inah berhambur lebih dulu mendekat lalu menyambung kalimatnya, “Sini. Biar saya bawakan tasnya.”
Ananta tentu saja canggung. Semua orang disini masih asing baginya. Namun penyambutan mereka sungguh luar biasa. Ananta merasa benar-benar berada ditengah keluarga yang utuh. Dan dengan sopan Ananta mengelak, “Oh, tidak perlu, Buk. Saya bisa sendiri.”
Wajah keriput itu kembali mencetak senyum. “Panggil saja Bi Inah. Yasudah kalau begitu ayo masuk, sudah gelap.”
“Em ... Baik.”
Semua orang kecuali Pak Gino dan Mang Dadang masuk kedalam rumah. Athalla melonggarkan dasi yang masih mengikat dileher. Menghela napas lalu melepas jas kerjanya.
“Mas Thalla mau saya buatkan minum?” tawar Bi Inah. Menerima jas yang baru saja Athalla lepas.
“Tidak usah, Bi. Bibi siapkan makan malam saja. Nanti ajak Mang Dadang juga Pak Gino, ya, Bi. Saya langsung mau beres-beres sekalian bantuin, Gian sebentar.”
“Baik, Mas. Saya permisi.”
Athalla mengangguk, mengulas senyum lalu mengarahkan pandang pada Ananta. Senyum yang sedetik lalu luntur langsung kembali merekah kala Athalla bisa melihat wajah terkagum milik Ananta. Bocah itu membuka mulutnya, takjub, mungkin?
Matanya menjelajah kesetiap sudut rumah. Mengangkat kepala memperhatikan jejeran tangga pembatas dilantai atas. Untuk sejenak wajahnya berubah. Menyerngit, tampak bingung. Ada satu kenangan yang ia ingat. Seperti kaset rusak dikepala Ananta. Masih samar tapi pernah ia lakukan.
“Kenapa?” Athalla menepuk bahu sang adik.
“Ah, enggak. Jadi benar namaku, Gian?”
“Iya. Giandra Putra Atmaja. Bagus, 'kan?”
“Em ... Iya. Aku suka.”
“Tentu saja. Karna itu memang nama aslimu.”
Semuanya dimulai dari awal. Hidup barunya terlihat menyenangkan. Pantas saja Galang menikmati posisinya. Karna Athalla memang sosok idaman. Pemuda itu lembut. Dan juga penyayang. Jadi, dulu memang dialah yang salah. Bukan Athalla. Dia yang jahat, bukan Athalla.
“Oke. Banyak hal yang mau Abang kasih tahu ke kamu. Sekarang Abang anterin kekamar kamu. Ayo!” sambung Athalla. Menarik lengan sang adik, meniti tangga menuju kamarnya.
Didepan pintu kamar berstiker gajah, sang adik kembali terpukau. Terlebih lagi saat pintu berwarna putih itu terbuka. Isinya sungguh membuat sang adik kehabisan kata-kata. Ini lebih dan lebih, bahkan lebih lagi dari kata sempurna.
“Ini dulu kamar kamu, tapi sempat dipakai Galang. Enggak apa-apa, 'kan?” ucap Athalla.
Sang adik menggeleng, menatap Athalla dengan sorot cerah.

KAMU SEDANG MEMBACA
Parashit!
Dla nastolatkówUp ulang "Kapan aku bahagia?" "Setelah kamu mati. Kebahagiaanmu menanti diujung sana." ®Sugarcofeee