Sekarang juga Hendra mulai mau bekerja. Entah bekerja apa, Ananta tak berani bertanya atau berniat mencari tahu. Baginya perubahan itu sudah cukup baginya. Mungkin jika masih ada Galang semuanya akan terasa lebih lengkap lagi.
Masih dengan kegiatan yang biasa ia lakukan, Ananta menyusuri beberapa gang kecil di sekitar tempatnya tinggal. Suasana yang masih terbilang baru untuk Ananta tentunya membuat Ananta tak berani mencari sampah plastik terlalu jauh. Apa lagi tingkat pelupanya sekarang makin bertambah setiap harinya.
"Kalo cuma di sini-sini aja hasilnya ya tetep segini-gini aja. Tapi aku mau jauh-jauh takut lupa jalan pulang."
Tidak ada teman. Yang jelas Ananta bermonolog seorang diri. Dia harus memutar otak guna mencukupi kebutuhannya.
Pukk...
Sebuah tangan mendarat di pundak kecilnya. Ananta menoleh lalu mendapati seorang bapak-bapak tengah berdiri di belakangnya. Senyumnya terukir begitu saja menyambut pria yang terlihat sudah berumur itu.
Tubuhnya spontan menunduk memberi salam. "Ada apa, Pak?" tanyanya.
"Kamu butuh pekerjaan tambahan?" kata bapak itu.
"Memangnya Bapak punya pekerjaan buat anak kecil seperti saya ini?"
Lantas Bapak itu mengangguk dihias senyum menenangkannya. "Kenalin nama Bapak, Pak Jaka. Mari ikut saya. Insya alloh bisa sedikit membantumu."
"Bapak serius?"
"Iya. Sudah hampir seminggu ini Bapak perhatiin kamu mulung di sekitar sini. Bapak pikir kamu butuh uang tambahan kecuali hasil dari mulung. Jadi Bapak tawarkan ini ke kamu."
"Tapi, saya cuma anak kecil, Pak."
"Kamu tenang, pekerjaannya tidak berat. Hanya berjualan koran saja."
"Jualan koran?" dahinya menyerngit samar. Tentu Ananta tahu jelas. Dulu, waktu di tempat tinggal yang dulu banyak sekali anak-anak sepertinya berjualan koran di lampu merah. Ingat kan jika dulu Ananta itu mengamen juga? Tapi entah kemana sekarang bakat Ananta yang itu. Ukelele-nya saja sudah tidak tahu kemana perginya. Sama seperti Galangnya.
"Iya. Di depan gang sana ada beberapa lampu merah juga tempat tongkrongan orang-orang kantoran. Jadi kamu bisa keliling di sekitar sana sembari kamu memulung," terang Pak Jaka.
"Saya mau, Pak. Mulai kapan? Sekarang?" Ananta begitu antusias. Pekerjaan yang tidak buruk. Lagi pula hanya di depan gang sana 'kan? Tidak jauh-jauh.
"Tidak. Mulai besok saja. Ini sudah sore. Tapi saya akan ajak kamu ke rumah saya, supaya besok kamu bisa langsung ambil korannya di rumah."
Tentunya Ananta mengangguk. Dan bersyukur kepada sang pencipta yang selalu berbaik hati kepadanya.
-----------
Hari kamis, hari ke 5 Galang bersekolah. Tidak sulit untuknya mendapatkan beberapa teman baru. Sekarang hidupnya benar-benar kembali normal. Selayaknya orang-orang pada umumnya. Meski dulu SMP-nya ia tidak lulus, berkat Athalla nyatanya Galang masih bisa melanjutkan pendidikannya lagi ke jenjang SMA.
Ini hidup yang Galang harap-harapkan. Kemewahan, banyak teman, pakaian layak, tempat tinggal yang nyaman, kebutuhan yang lebih dari cukup dan lain sebagainya. Seolah keluarganya benar-benar kembali. Sampai-sampai ia lupa tentang bagaimana ia mendapatkan ini semua.
"Ren, nanti malem kita sambung di telepon ya, Abang ku udah jemput," katanya.
Gadis bernama Aren itu mengangguk dan tersenyum. Memperhatikan punggung sahabat barunya yang perlahan menjauh lalu masuk ke dalam mobil merah. Setelah masuk, Galang menyapa Athalla yang duduk di balik kursi kemudi.
"Baru pulang, Bang?"
"Iya, kelamaan ya nunggunya?"
"Enggak kok, Galang juga sambil nemenin temen Galang juga tadi. Belum di jemput."
"Sekarang udah di jemput belum? Kalo belum bareng aja, kasian anak cewek sendirian. Ini udah sore."
Lalu, Galang memutar tubuhnya kebelakang. Memperhatikan Aren yang ternyata sudah di jemput dan masuk ke dalam mobil hitam dari balik kaca bagasi belakang.
"Udah kok, Bang. Itu udah masuk," katanya sembari kembali ke posisi semula.
Beberapa detik kemudian, mobil yang di kendarai Aren tampak berjalan lebih dulu. Menyalakan klakson singkat guna menyapa pemilik mobil yang tentunya Aren kenal.
Galang memasang sabuk pengamannya lalu membiarkan hening membentang diantara keduanya. Athalla menarik tuas rem tangan mobilnya lalu melajukannya dengan kecepatan sedang.
"Abang capek?" tanya Galang basa-basi.
Athalla mengangguk tanpa mengalihkan fokusnya dari jalanan. "Gimana sekolah kamu?"
"Alhamdulilah lancar, Bang."
"Kamu suka sama sekolahannya?"
"Iya. Suka banget malahan. Temen-temen Galang baik-baik semua. Enggak susah buat deket sama mereka."
"Kalau gurunya gimana?"
"Gurunya... Ya sewajarnya guru, Bang."
"Itu gurunya kayaknya masih sama kayak yang dulu. Itu kan sekolahan Abang dulu. Cuma sekarang udah lebih baik dan lengkap fasilitasnya dari pada zamannya Abang"
"Iya. Sekarang udah banyak macem ekstrakulikulernya. Galang sampek bingung tadi mau milih apa?"
"Terus akhirnya kamu milih apa?"
"Ekskul panah sama taekwondo."
"Wah, itu pasti ekskul baru. Abang baru tahu kalo sekarang ada itu. Dulu belum ada."
"Berarti udah maju banget sekarang, Bang. Udah mengikuti perkembangan zaman. Harusnya Abang bangga pernah jadi alumni di sana. Kan tetep terkenalnya."
"Hmm... Iya. Dulu zamannya Abang juga sekolah itu yang paling terkenal. Mahal iya, isinya anak orang terpandang semua. Ya itu doang sih kelebihannya. Buat isinya sama pembelajarannya, ya sama aja kayak sekolahan lainnya."
"Namanya juga sekolahan, Bang. Jelas semua nya juga sama. Sama-sama dapet ijazah kalo lulus. Iya kan?"
"Iya iya. Tapi kamu suka di situ kan? Itung-itung bisa sombongin diri"
Kekehan kecil Galang tercipta. Memang dirinya bisa bersombong diri bisa masuk ke sekolahan yang terpandang -kata Athalla.
Tanpa di sadari oleh keduanya, ada sosok yang mereka lewati. Dengan karung yang bertengger di pundaknya juga beberapa tumpukan koran dalam dekapannya. Hanya sekilas. Saking asyiknya Athalla dengan Galang sampai tak menyadari sosok Ananta yang berpapasan dengannya.
Sedari tadi bocah kecil itu terus merintih pelan. Perutnya tiba-tiba sakit. Mungkin maag nya kambuh karna sejak tadi pagi hingga sore belum ada makanan yang masuk ke dalam lambungnya. Pada akhirnya, Ananta meminta beberapa koran yang akan ia jual.
Niat Ananta akan mulai lebih pagi, kalau bisa sebelum langit berubah jadi cerah. Dan Ananta tidak ingin mengganggu Pak Jaka pagi-pagi buta, jadi ia meminta lebih dulu koran-korannya untuk hari esok.
Langkah nya kini terayun lemas. Menyusuri trotoar jalan yang tampak begitu panjang dan jauh. Ia ingin segera sampai di rumah. Semoga saja bisa mendapatkan sesuap nasi sedikit saja. Perutnya benar-benar sudah melilit. Rasa-rasanya lambungnya seperti di remas kuat-kuat. Membuat setiap napasnya terasa berat.
Tapi sebelum pulang ada satu tugas yang harus ia jalankan. Yakni menjual hasil mulungnya. Jadi ia harus bersabar lebih lagi untuk sampai di rumahnya.
Tbc

KAMU SEDANG MEMBACA
Parashit!
Teen FictionUp ulang "Kapan aku bahagia?" "Setelah kamu mati. Kebahagiaanmu menanti diujung sana." ®Sugarcofeee